Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Keragaman Hayati
Minggu, 10 Agustus 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan Hidup di Indonesia menyangkut tanah, air, dan udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semua media lingkungan hidup tersebut merupakan wadah tempat kita tinggal, hidup serta bernafas. Media lingkungan hidup yang sehat, akan melahirkan generasi manusia Indonesia saat ini serta generasi akan datang yang sehat dan dinamis.
Pasal 1 (17) Undang undang No 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di katakan Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Pembangunan industri, eksploitasi hutan serta sibuk dan padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping. Dampak samping tersebut berakibat pada tanah yang kita tinggali, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup. Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim atau keadaan yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup telah terjadi.
Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem pertanian/perkebunan, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan satwa liar juga telah terjadi pada pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit pada lahan hutan.
Lingkungan hidup merupakan persoalan sangat penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Mengapa hal tersebut sangat vital bagi kehidupan manusia ? karena dengan adanya faktor faktor pengganggu terhadap lingkungan hidup menyebabkan terganggunya kelestarian fungsi lingkungan hidup seperti menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan serta meningkatnya kejadian bencana alam yang pada akhirnya bermuara pada menurunnya kualitas kehidupan manusia baik generasi masa kini maupun masa depan.
Secara umum, adanya gangguan hutan di mana-mana, yang paling merasakan akibatnya secara langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan atau sekitar kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan lingkungan hayati, tapi juga secara langsung dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan budaya Masyarakat peDesaan hutan. Mereka yang tadinya mendapatkan bahan makanan dari jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan secara bebas di hutan, akan kehilangan sumber kehidupannya.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami mengingkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil (CPO) sebagai sumber minyak nabati dan penyediaan untuk biofuel. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak ekologi perkebunan kelapa sawit adalah meningkatkan level CO2 (karbon diokasida) di atmoster, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam, berkurangnya kawasan resapan air, sehingga pada musim hujan akan mengakibatkan banjir karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air, kehancuran habitat flora dan fauna yang mengakibatkan konflik antar satwa, maupun konflik satwa dengan manusia. Akibat habitat yang telah rusak, hewan tidak lagi memiliki tempat yang cukup untuk hidup dan berkembang biak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak Pembangunan perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Keragaman Hayati
*Dinyatakan Prof soekartawi
Kelapa sawit adalah komoditas primadona Indonesia sekarang ini. Ini dibuktikan dengan besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap ekspor, produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan pekebun, penyerapan tenaga kerja. Produksi sawit Indonesia mencapai 17,4 juta ton dalam kawasan 6,7 juta hektar, dan ekspornya mencapai 11 juta ton CPO (crude palm oil) senilai US$ 6,2 milyar, menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar sawit di dunia. Namun demikian pembangunan perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara ketiga pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Kemitraan pada dasarnya adalah kegiatan kerjasama usaha antara usaha kecil/pekebun dengan usaha menengah dan/atau usaha besar sebagai mitra usaha disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
B. Dampak Ekologi dan Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar
Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.
Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski harus mengkonversi hutan.
Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun Kaltim, 6 juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak pemerintah, dalam hal ini departemen kehutanan.
Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
3. Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
5. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
6. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
7. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor
Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).
Masihkan kita membutuhkan konversi hutan untuk menjadi kebun sawit mengingat dampak negatif yang munculkannya begitu banyak bahaya dan jelas-jelas mengancam keberlangsungan lingkungan hidup? Sebuah pertanyaan untuk kita permenungkan demi kelangsungan dan keseimbangan alam serta penghuninya. (cepot)
C. Aspek Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Pemerintah Indonesia dewasa ini telah bertekad untuk menjadikan komoditas kelapa sawit sebagai salah satu industri non migas yang handal.
Bagi Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup penting sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka peluang kerja yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi perkebunan yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah tercatat 14 jenis tanaman, dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama perkebunan rakyat, dan kelapa sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar yang dikelola oleh pengusaha perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta Nasional/Asing ataupun PIR-Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya).
D. Aspek Sosial Budaya Perkebunan Kelapa Sawit
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan memiliki dampak yang luas bagi kehidupan Masyarakat. Dampak tersebut meliputi perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya keseimbangan lingkungan alam dan kepunahan keanekaragaman hayati(biodiversity). Terhadap kehidupan Masyarakat, dapat membentuk pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan kesadaran bersama bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga menimbulkan respon dari Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya proses pembangunan.
Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan Masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan Masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari Masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan Masyarakat yang cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional.
E. Aspek Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting, antara lain, hidro-orologi, penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan iklim serta rosot (penyimpan, sink) karbon, Hutan juga berfungsi sebagai penyimpan keanekaragaman hayati. Ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki dampak-dampak besar bagi penduduk Indonesia Umumnya, khususnya Masyarakat Kalimantan Tengah.
Perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan pemindahan lahan dan sumberdaya, perubahan luar biasa terhadap vegetasi dan ekosistem setempat. Lingkungan menjadi bagian yang sangat rawan terjadi perubahan kearah rusaknya lingkungan biofisik yang terdegredasi serta bertambahnya lahan kritis. apabila dikelola secara tidak bijaksana. Aspek lingkungan mempunyai dimensi yang sangat luas pengaruhnya terhadap kualitas udara dan terjadinya bencana alam seperti kebakaran, tanah longsor, banjir dan kemarau akibat adanya perubahan iklim global.
F. Dampak Positif dan Negatif Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain itu juga mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam. Secara sosial juga sering menimbulkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar baik yang disebabkan oleh konflik kepemilikan lahan atau karena limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit. Limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit merupakan salah satu bencana yang mengintip, jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara baik dan profesional, mengingat industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan
G. Pencemaran Limbah Industri Kelapa Sawit dan Tata Cara pengelolaanya
Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat (Agustina,dkk, 2009). Dalam pengelolaan industri kelapa sawit juga dihasilkan limbah baik yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit maupun yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit.Untuk menghindari masalah lingkungan yang diakibatkan oleh limbah industri kelapa sawit,maka diperlukan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini didukung oleh sikap untukmenciptakan produk yang harus berorientasi lingkungan dan harus dibuat dengan proses yangramah lingkungan (green consumerism) dan menempatkan lingkungan sebagai non tariff barrier.
Oleh karena itu pendekatan yang banyak diterapkan adalah konsep produk bersih (cleaner production).
Konsep ini dilakukan dengan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu hingga hilir yang terkait dengan proses produksi, produk, dan jasa untuk meningkatkan efesiensi pemakaian sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya, sehingga dapat meminimalisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan. Kata kunci yang diperlukan dalam pengelolaan adalah menimalkan limbah, analisis daur hidup, teknologi ramah lingkungan.Pola pendekatan untuk meciptakan produk bersih adalah pencegahan dan meminimalisasi limbah yang menggunakan hirarki pengelolaan melalui 1E 4R yaitu Elimination (pencegahan),Reduce (pengurangan), Reuse (penggunaan kembali), Recycle (daur ulang), Recovery/Reclaim(pungut ulang) (Panca Wardhanu, 2009)
1. Pengelolaan Limbah Cair Limbah Industri Kelapa Sawit
Industri kelapa sawit merupakan industri yang sarat dengan residu hasil pengolahan. Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit dapat berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan berupa Palm Oil Mill Effluent (POME) air buangan kondensat (8-12 %) an air hasil pengolahan (13-23 %). Menurut Djajadiningrat dan Femiola (2004) dari 1 ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dapat dihasilkan 600-700 kg limbah cair. Bahkan saat ini limbah cair hasil pengolahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 28,7 juta ton limbah / tahun. Ketersediaan limbah itu meupakan potensi yang sangat besar jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Namun sebaliknya akan menimbulkan bencana bagi lingkungan dan manusia jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik dan profesional.
Limbah cair kelapa sawit dapat menghasilkan biogas dengan melakukan rekayasa. Limbah cair ditempatkan pada tempat khusus yang disebut bioreaktor. Bioreaktor dapat diatur sedemikian rupa sehingga kondisinya optimum untuk meproduksi biogas. Selain itu juga dapat ditambahkan mikroba untuk mempercepat pembentukan gas metan untuk menghasilkan biogas. Proses tersebut dapat menghasilkan potensi yang sangat besar. Dari 28,7 juta ton limbah cair kelapa sawit dapat dihasilkan 90 juta m3 biogas yang setara dengan 187,5 milyar ton gas elpiji (Anonim, 2009).
Selain itu limbah cair dapat juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan pembuat sabun, serta pembuatan biodiesel, dan air sisanya dapat digunakan untuk pengairan bila telah memenuhi standar baku mutu lingkungan.
2. Pengelolaan Limbah Padat Limbah Industri Kelapa Sawit
Limbah padat yang dihasilkan oleh industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) (Naibaho, 1996). Tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos dengan proses fermentasi dan dimanfaatkan kembali untuk pemupukan kelapa sawit itu sendiri. Penggunaan pupuk tandan kosong kelapa sawit dapat menghemat penggunaan pupuk kalium hingga 20 %. 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 600-650 kg kompos.
Selain itu tandan kosong kelapa sawit mengandung 45 % selulose dan 26 % hemiselulose. Tingginya kadar selulose pada polisakarida tersebut dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi bioetanol. Bioetanol ini dapat digunakan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui dengan cepat (renewable). 1 ton tandan kosong kelapa sawit dapat menghasilkan 120 liter bioetanol (Anonim, 2009).
Tandan kosong kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pulp untuk pembuatan kertas. Selain itu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan sabun dan media budidaya jamur, sehingga dapat menambah pendapatan dan mengurangi limbah padat.
Cangkang dan serat kelapa sawit dapat dipergunakan sebagai sumber energi potensial. Cangkang dan serat kelapa sawit biasanya dibakar untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan oleh pembakaran cangkang dan serat telah mencukupi kebutuhan energi pengolahan pabrik kelapa sawit. Namun seiring dengan pelarangan pembakaran cangkang dan serat, maka serat dan cangkang dimanfaatkan untuk keperluan lain. Cangkang saat ini telah dimanfaatkan untuk pembuatan berikat arang aktif dan bahan campuran pembuatan keramik. Sedangkan serat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk.
Sementara itu limbah yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit berupa pelepah kelapa sawit dan batang kelapa sawit telah dimanfaatkan sebagai bahan pulp untuk pembuatan kertas dan perabot. Sedangkan daun dan pelepah kelapa sawit digunakan untuk pakan ternak ruminansia.
H. Masalah Kelapa Sawit Indonesia : Lingkungan, ketahanan pangan
Berbagai penelitian dan kajian, baik dari luar maupun dalam negeri, berbicara mengenai perkebunan kelapa sawit. Banyak pendapat kontra yang beredar dengan mengedepankan isu lingkungan dan kesehatan. Namun pendapat dan pembelaan yang pro -terutama dari pelaku perkebunan sawit- tidak kalah serunya.
Kita harus meletakkan permasalahan pada porsinya dan melihat apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir masalah tersebut. Secara jujur juga diakui bahwa perkebunan kelapa sawit berdampak terhadap lingkungan hidup. Namun pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja dan berperan dalam ekonomi kita juga merupakan fakta yang tidak bisa kita singkirkan begitu saja.
Informasi yang jujur dan berimbang mesti dikedepankan agar informasi yang disampaikan bukan menjadi proses pembodohan masyarakat (baik yang pro maupun kontra), namun menjadi pertimbangan pemikiran guna menyiapkan antisipasi masalah jangka panjangnya.
Bagaimanapun juga, fakta saat ini Indonesia memiliki sudah lahan sawit dengan jumlah terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan eksportir terbesar tidak hanya dalam komoditas minyak kelapa sawit, tapi juga pada keseluruhan komoditas minyak nabati dunia. Dari kelapa sawit ini Indonesia mendapatkan devisa yang lumayan ditambah dengan penyerapan tenaga kerja. Bahwa terdapat berbagai masalah yang ada di fakta yang ada seperti kerusakan hutan dan keanekaragaman hayati, ketahanan pangan serta konflik agraria dan sumber daya alam juga merupakan fakta yang kesemuanya harus menjadi pijakan dalam mencari solusi yang terbaik.
Solusi yang dibuat haruslah berpihak pada kepentingan bersama internal nasional kita. Sebab pengusahaan perkebunan merupakan kepentingan nasional, terlebih dalam konteks kelapa sawit dimana kita merupakan penghasil terbesar dan pengekspor terbesar serta penguasa pasar minyak nabati dunia. Harus dikesampingkan dulu masalah-masalah tambahan berupa tekanan internasional karena hal tersebut tidak hanya memperumit masalah yang sudah ada, namun juga dapat merongrong kepentingan nasional kita. Toh, pemecahan beberapa masalah yang kita hadapai secara internal, masih terkorelasi dengan tekanan internasional.
1. Kerusakan Lingkungan
Budidaya tanaman kelapa sawit menerapkan sistem monokultur yang mensyaratkan pembersihan awal pada lahan yang akan digunakan (land clearing). Secara ekologis, memang pola monokultur lebih banyak merugikan karena penganak-emasan tanaman tersebut akan berdampak pada penghilangan (atau pengurangan tanaman lain).
Jika lahan baru yang dibuka berupa hutan, maka tentu saja ini akan berdampak pada berkurangnya -atau bahkan hilangnya- keanekaragaman hayati yang sudah ada sebelumnya. Keanekaragaman hayati membentuk ekosistem yang kompleks dan saling melengkapi, gangguan atas ekosistem tentu akan mengganggu keseimbangan alam, misalnya pada hilangnya aktor-aktor alam yang berperan dalam rantai makanan. Kehilangan satu aktor yang ada pada rantai makanan dalam posisi lebih tinggi dari aktor lainnya akan menyebabkan peningkatan populasi aktor dibawahnya tanpa dikontrol oleh predator alami yang ada di atasnya. Bisa dibayangkan jika ledakan populasi itu merupakan ancaman bagi populasi lain. Contoh paling gampang adalah populasi yang mengganggu dan kemudian disebut hama.
Pada beberapa kasus, pembukaan lahan hutan -tidak hanya lahan sawit- diikuti dengan pembakaran untuk mempercepat proses land clearing. Kasus asap yang muncul dari kebakaran (atau pembakaran) hutan sangat sering muncul beberapa waktu lalu dan kita semua sudah tahu dampaknya.
Adapun untuk lahan yang sudah beroperasi, kegiatan pertanian dan perkebunan, seperti aktivitas pemupukan, pengangkutan hasil, termasuk juga pengolahan tanah dan aktivitas lainnya, secara kumulatif telah mengakibatkan tanah mengalami penurunan kualitas (terdegradasi), karena secara fisik, akibat kegiatan tersebut mengakibatkan tanah menjadi bertekstur keras, tidak mampu menyerap dan menyimpan air. Penggunaan herbisida dan pestisida dalam kegiatan perkebunan akan menimbun residu di dalam tanah. Demikian juga dengan pemupukan yang biasanya menggunakan pupuk kimia dan kurang menggunakan pupuk organik akan mengakibatkan pencemaran air tanah dan peningkatan keasaman tanah.
Tanaman kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus air. Ketersediaan air tanah pada lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut akan semakin berkurang. Hal ini akan mengganggu ketersediaan air, tidak hanya bagi manusia namun bagi tanaman itu sendiri. Dengan berkurangnya kuantitas air pada tanah dapat menyebabkan para petani akan sulit mengembangkan lahan pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit ini beroperasi.
Jika dibiarkan tanpa antisipasi atas dampak jangka panjang, maka lahan demikian akan menjadi terlantar dan pada akhirnya akan menjadi lahan kering juga gersang yang terbengkalai.
Dampak lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Namun bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi dampak tersebut.
Kita harus mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama pada hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang diproyeksikan sebagai sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian seperti waduk. Namun memang diperlukan sinergi supaya semua kebijakan tersebut dapat saling topang.
Konservasi hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik lahan sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan yang terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu sendiri, pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman kelapa sawit dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang.
Demikian juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi dengan pupuk organik berbasis bioteknologi yang memiliki kadar mikroba penyubur/pembenah tanah. Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi pada pertumbuhan tanaman harus dikombinasi dengan pupuk organik yang berorientasi pada kesuburan tanah dengan menjaga proses biologi dan kimia tanah tetap berlangsung. Kesuburan tanah diharapkan bisa tetap terjaga sehingga tidak hanya menguntungkan bagi tanaman, namun mencegah proses penggurunan yang terjadi.
2. Ancaman Ketahanan Pangan
Jika lahan yang akan digunakan bukan hutan dan merupakan lahan produktif pertanian tanaman lain terlebih tanaman pangan maka konversi lahan ini pasti akan berdampak pada ketahanan pangan. Pola perubahan lahan seperti ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang menunjukkan bahwa komoditas kelapa sawit merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup menjanjikan karena tren konsumsi yang terus meningkat pada pasar internasional.
Faktor ekonomi tersebut pada level pengusaha perkebunan skala kecil akan mendorong mereka melakukan konversi lahan karena secara modal mungkin tidak memiliki kemampuan untuk membuka lahan baru dengan cara konversi hutan. Fluktuasi harga kelapa sawit yang relatif stabil mendorong masyarakat yang memiliki lahan pertanian pangan mengalihkannya ke perkebunan sawit. Hal itu terjadi di sejumlah sentra perkebunan sawit. Jambi misalnya, saat ini telah menggantungkan pasokan berasnya ke daerah lain akibat banyaknya lahan padi yang dikonversi.
Demikian juga dengan para pengusaha dalam skala besar, konversi lahan ini akan menjadi pilihan ketika konversi hutan dihentikan sementara oleh pemerintah melalui moratorium Inpres No 10 Tahun 2011. Inpres ini berlaku khusus untuk 64,2 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut di Indonesia. Permintaan internasional yang tidak pernah turun dan mempunyai tren meningkat ditambah dengan tingginya produksi minyak kelapa sawit dibanding minyak nabati lainnya dalam hal efisiensi lahan, jalan keluar yang terlihat karena tembok moratorium adalah konversi lahan yang sudah ada saat ini.
Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan termasuk kelapa sawit bisa memicu semakin tingginya harga pangan. Pasalnya, luas lahan pertanian semakin menyusut dan berimbas terhadap penurunan produksi atau bahkan hilangnya komoditas pangan di daerah tersebut. Di Sumatra Utara, beras yang selama ini menjadi andalan, beras Ramos Leidong sudah ‘menghilang.’ Dan tidak tertutup kemungkinan akan menyusul komoditas lainnya.
Dalam konteks ketahanan pangan, kondisi ini akan mendorong masuknya produk impor untuk komoditas pangan. Sehingga langsung atau tidak, akan berdampak pada naiknya harga kebutuhan pangan dan ketergantungan atas pangan dari luar.
Masalah ketahanan pangan memang tidak bisa hanya dibebankan pada komoditas kelapa sawit atau komoditas lain perkebunan besar saja. Masalah ini selalu saja menjadi topik ‘panas’ yang menjadi pekerjaan besar pemerintah. Masalah ini lebih pada keberpihakan pemerintah pada kesejahteraan petani tanaman pangan. Bagaimana mungkin petani menanam komoditas yang tidak bisa menopang kehidupannya?
Subsidi dan insentif sangat dibutuhkan pada urusan ketahanan pangan. Subsidi bukan hanya untuk pupuk, namun juga untuk stabilitas dan kepastian harga jual petani. Bantuan permodalan harus serius diselenggarakan dan bukan hanya sebatas program kerja dan pernyataan namun benar-benar terealisasi ke bawah dan dirasakan petani sebagai bentuk perhatian negara/pemerintah. Demikian juga infrastruktur yang memadai dan terus terpelihara.
Insentif bagi perkebunan besar harus diberikan untuk mendorong penggunaan lahan-lahan ‘terbengkalai.’ Lahan tidur yang sulit dimanfaatkan pertanian pangan dapat diinisiasi untuk lahan perkebunan dengan membuat persyaratan yang tegas mengenai tanggungjawab lingkungan. Misalkan pembukaan perkebunan yang mensyaratkan adanya reservoir air dan sebagainya. Insentif dapat diberikan dengan pengurangan pajak, memberikan kemudahan ijin dan perpanjangan HGU dan sebagainya yang bisa dikalkulasi secara ekonomi oleh pengusaha perkebunan. Tapi lagi-lagi perlu ditekankan konsistensi atas kebijakan ini. Dan seperti pada masalah lingkungan hidup, sinergi lagi-lagi diperlukan agar kebijakan ini bisa menjadi bagian dari strategi besar yang akan dilakukan. Jangan hari ini bicara insentif, tahun depan kenaikan pajak dan diversifikasi pajak dilakukan.
Contoh Kasus
A. Perkebunan Sawit di KALBAR dan Dampaknya Bagi Lingkungan
Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan beribukotakan Pontianak serta terkenal dengan provinsi seribu sungai. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Sebagai provinsi yang geografisnya terletak di garis khatulistiwa dan beriklim tropis serta topografi yang luas, perkembangan sektor perkebunan di Kalimantan barat dari tahun ketahun memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dalam skala perkebunan besar, produksi terbesar di Kalbar adalah tanaman kelapa sawit, dan untuk perkebunan rakyat, karet adalah komoditas utama yang menjadi primadona.
Secara teknis, kelapa sawit cocok untuk daerah Kalimantan Barat, karena tidak mempersyaratkan kesuburan tanah, Hampir sepertiga luas wilayah Kal-bar sudah dikonversi menjadi wilayah perkebunan sawit. Hasil-hasil dari perkebunan ini memberikan kontribusi terhadap pembangunan di daerah Kalimantan Barat dan merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat di Kalbar. Selain bagi masyarakat, perusahaan pengelolanya juga dapat menghasilkan keuntungan dengan menjual hasil perkebunan baik melalui pasar domestik maupun pasar global.
Karet dan kelapa sawit merupakan bentuk usaha yang dipilih karena hasil yang sangat menjanjikan. Sekitar 60% lahan yang ada di Kalimantan Barat kini telah beralihfungsi menjadi perkebunan. Lahan terluas yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat yaitu di kabupaten Sanggau dengan luas lahan 63.238 Ha, untuk peringkat kedua yaitu di kabupaten Ketapang dengan luas lahan 49.936 Ha, dan untuk terluas ketiga yaitu kabupaten Sekadau dengan luas lahan 24.634 Ha.
Dibalik dampak positif yang dihasilkan oleh perkebunan sawit ini, terdapat pula dampak negatifnya. Keberadaan perkebunan kelapa sawit skala besar seperti sekarang ini, mengancam Kalimantan Barat sebagai satu kesatuan ekologis. Juga merusak keseimbangan alam dan lingkungan, seperti akar dari kelapa sawit sangat sulit untuk dibersihkan walaupun pohon sawit tersebut telah mati, namun dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar akar dan tanah yang telah ditanami kelapa sawit dapat digunakan lagi. Selain itu tanah bekas perkebunan kelapa sawit akan menjadi gersang karena unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah telah habis.
Dari Sambas menceritakan derita banyak orang karena pembukaan perkebunan sawit. Ada perusahaan melakukan sosialisasi diam-diam. Bahkan ada sosialisasi, langsung kemudian penggusuran lahan. Ada banyak lahan kebun dan perkuburan keramat (kuburan tua) yang digusur untuk perkebunan sawit. Tidak hanya itu, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan pencemaran diakibatkan asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.
Berdasarkan data Kasdam XII Tanjungpura bahwa konflik lahan yang ada di Kalimantan Barat cukup kencang saat ini sudah ada 84 kasus yang menyangkut lahan perkebunan.Dari 84 kasus tersebut, biasanya yang paling sering terjadi yaitu masyarakat adat dengan perkebunan, pemilik lahan dengan pemerintah, perusahaan dengan pemerintah, masyarakat dengan masyarakat dan karyawan dengan perusahaan. Salah satu contoh kasus yaitu persoalan di Kawasan Hutan adat Seruat Dua Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat mengenai konflik antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Karena masyarakat resah akan lahan yang telah dirambah untuk perkebunan sawit, hal ini menjadikan mereka akan kesulitan mendapatkan air tawar pada saat kemarau datang setelah hutan itu gundul dikarenakan hutan itu adalah sumber air tawar bagi masyarakat.
Hal yang paling dikritisi adalah pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan skala besar. Misalnya saja, target untuk luasan pembukaan perkebunan kelapa sawit yaitu 1,5 juta Ha. Kebun yang sudah ditanam dan telah dikelola mencapai 900 ribu hektar. Tetapi faktanya proses perizinan kini sudah mencapai 4,8- 4,9 juta Ha. Luas perkebunan yang masih dalam proses perizinan yang jauh lebih luas dari target itu akan kembali merusak hutan di Kalbar. Target yang 1,5 juta hektar itu sebenarnya prioritas untuk lahan kritis dan tidak produktif. Tetapi jika izin nanti melebihi target, bisa dipastikan jika yang diambil itu bukan hanya lahan kritis. Pasti di dalamnya ada tanah yang masih punya hutan, ada hutan produksi, dan lahan gambut. Wilayah yang dikelola masyarakat menjadi semakin sempit.
Sebaiknya pemerintah melakukan pengecekan terhadap daerah-daerah yang telah melanggar dan melegalkan proses perizinan yang semestinya lahan itu bukan untuk perkebunan. Jika beberapa tahun kedepan pembukaan perkebunan masih terus diperluas, akibatnya akan terjadi bencana alam yang mungkin berujung pada bencana kemanusiaan. Seharusnya bencana alam dapat dicegah sejak dini, sebagai suatu harapan agar anak cucu nanti masih dapat melihat betapa indahnya alam yang luas dan pohon-pohon lebat maka mulai dari sekarang upayakan dalam menerima suatu perusahaan pertimbangkan matang-matang apa dampak yang ditimbulkan baik dampak positif maupun negatif.
Untuk itu, kami rasa perlu adanya sosialisasi tentang green economic di Kalimantan Barat yang sekarang sedang gencar di lakukan di seluruh Negara. Dengan melihat permasalahan dari dampak negative yang ditimbulkan dari perkebunan kelapa sawit, maka kami dapat menyimpulkan beberapa cara untuk meminimalisir kerusakan lingkungan hutan di Kalimantan Barat.
Berikut cara untuk mensukseskan Green Economic di Kalimantan Barat, ditengah maraknya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit :
1. Memastikan keseimbangan alam tetap terjadi,yaitu mensinergiskan antara pembangunan dengan keadaan lingkungan sekitar
2. Pendekatan melalui budaya dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku perkebunan dengan mengadakan seminar penyampaian prinsip-prinsip pengelolaan perkebunan sesuai standar, termasuk prinsip tanggung jawab dan konservasi lingkungan
3. Melakukan pengembangan komoditas lain, selamatkan dan tingkatkan kualitas karet rakyat
4. Melakukan pemberdayaan partisipatif dengan membangun jejaring yang melibatkan anggota masyarakat sambil memanfaatkan lahan secara produktif dengan menanam aneka komoditi yang bernilai ekonomis contohnya mengembangkan komoditas jagung yang sudah mulai berkembang di Daerah Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya.
5. Penghentian proyek yang bisa menghancurkan alam sekitar kita
6. Memperkuat kebijakan soal tata kelola sumberdaya alam yang ada di Kalimantan Barat
7. Melakukan sosialisasi pentingnya lingkungan hidup melalui berbagai media. Bersikap kritis terhadap situasi sekarang dan masa depan sambil menggalakkan gerakan cinta lingkungan
8. Pemerintah harus menghentikan pemberian izin baru untuk perkebunan kelapa sawit, membentuk lembaga untuk mengawasi (audit) pelaksanaan pengelolaan lingkungan di perusahaan perkebunan, menerapkan sistem pengelolaan sumber daya alam Kalimantan Barat secara adil, lestari, dan berbasis kemasyarakatan yang mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Kalimantan Barat.
9. Pihak perusahaan harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan akademis dalam proses dan keputusan mengenai AMDAL, membentuk dan mengoptimalkan divisi lingkungan hidup dalam setiap perusahaan sesuai dengan peraturan yang ada, menyelesaikan permasalahan-permasalahan perkebunan terhadap pihak-pihak terkait dengan tuntas dan adil, selain itu pihak perusahaan harus konsisten terhadap aturan pemerintah serta melaksanakan kesepakatan dengan masyarakat lokal secara jujur.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembangunan perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif kalau dilakukan secara sembarangan. Dampak ini dapat merusak lingkungan, keragaman hayati, dan bahkan merusak budaya masyarakat setempat. Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan akan melibatkan pemerintah, investor, masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu ada kemitraan antara ketiga pelaku (stakeholders) bisnis kelapa sawit tersebut.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
Selain dampak positif ternyata juga memberikan dampak negatif. Secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan.
B. SARAN
Dalam pembahasan materi di atas mengenai Dampak Pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap keragaman hayati masih banyak kekurangan, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA
Zulkifli. 2000. Dampak Perdagangan Bebas terhadap keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi Doktor. PPS IPB. Bogor
Tarigan, B dan T. Sipayung. 2011. Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Perekonomian dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara. IPB Press. Bogor
Suryana, A. 1986. Integrasi Pasar Suatu Analisis pada Pasar Internasional Minyak Nabati. JAE 1: 1-9
Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. IPB Press. Bogor.
Sabiham, S. 2013. Sawit dan Lahan Gambut Dalam Pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia. Himpunan Gambut Indonesia.
Purba, J. H. 2011. Dampak Pajak Ekspor CPO terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia. Disertasi Doktor. SPS. IPB. Bogor
--------------., 2003b. Prospek Pembangunan Industri Minyak Goreng di Daerah Riau, dalam Sosiohumaniora, Vol 5 No 1, Maret 2003, hal 68-77. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung.
Suhartiningsih, W., 2003, Membangun Agroindustri Berbasis Kelapa Sawit, dalam Usahawan Indonesia No 02/TH.XXXII Februari 2003, hal 53-55,Lembaga Manajemen FE-UI, Jakarta.
Syahza, A., 2002. Potensi Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Daerah Riau, dalam Usahawan Indonesia, No. 04/TH XXXI April 2002, hal 45-51. Lembaga Manajemen FE UI. Jakarta.