Makalah Iman Kepada Qada Dan Qadar Lengkap
Minggu, 19 April 2020
IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
Kompetensi Inti
- Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
- Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
- Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
- Mengolah, menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, mengkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
Kompetensi Dasar
- Meyakini macam-macam takdir yang berhubungan dengan Qada dan Qadar.
- Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan kepada Qadha dan Qadar Allah
- Menunjukkan bukti/dalil kebenaran akan adanya Qadha dan Qadar dan ciri-ciri perilaku orang yang beriman kepadanya
- Menyajikan kisah-kisah dari berbagai sumber dalam fenomena kehidupan tentang Qadha dan Qadar
Amati dan renungkan ayat berikut!
ْنَ أ ِلْبَ ق ْنِ م ٍ ابَتِ ي ك ِ لا ف ِ إ ْمُكِسُفْنَ ي أ ِ لا ف َ و ِضْ ي الأر ِ ف ٍةَ يب ِصُ م ْنِ م َ اب َصَ ا أ َم ِ ( سَ ي َِّ ى اللَّ َلَ ع َكِلَ ذ َّنِ ا إ َهَأَرْبَن )٢٢ ٌ ير
Artinya : Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.( Qs. AlHadid ayat 22).
A. Pengertian Iman kepada Qada dan Qadar
B. Macam-Macam Taqdir
1. Takdir Mubram
Takdir Mubram adalah ketentuan Allah yang pasti berlaku pada manusia dan tidak bisa dirubah . Seperti kelahiran atau kematian seseorang, datang nya hari kiamat, jodoh dan jenis kelamin.َ ون ُرِخْأَتْسَ لاي َفْمُهُلَجَأَ اء َ اجَذِ ٌلٌَجَأٍةَّمُ أِ لُِكِلُهَّ الل َ اء َ اش َ لام ِاإًعْفَ لان َ او ًّرَ يض ِسْفَنِلُكِلْمَ لاأ ْلُق َ )٤٩( ون ُمِدْقَتْسَ لاي َوًةَ اع َس
2. Takdir muallaq
Taqdir muallaq adalah ketentuan Allah yang dapat di ubah dengan usaha dan ikhtiar , seperti kekayaan, kesehatan , dan kepandaian atau prestasi.ْ )١١( مِهِسُفْنَأِ اب َ وام ُ أرِيَغُ ىيَّتَحٍمْوَقِ اب َمُ أرِيَغُ لاي َهَّ الل َّنِإ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. Ar-Ra’d ayat 11)
C. Kewajiban Beriman Kepada Qada dan Qadar
- Setiap muslim wajib beriman kepada Qadla dan Qadar. Pengingkaran terhadap adanya Qadla dan Qadar berarti sikap kafir.
- Untung ruginya seseorang hanya ada pada kekuasaan dan kehendak Allah. Maka hendaklah kita selalu percaya kepada segala Qadla Allah, sabar atas segala cobaan yang menimpa kita.
- Allah menantang siapa saja yang tidak bisa menerima Qadla-Nya dengan ridla dan tidak bisa bersabar atas segala cobaan yang diberikan kepadanya, supaya orang itu mencari tuhan selain Allah.
D. Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Kepada Qada dan Qadar
Orang yang beriman kepada qadla dan qadar harus memiliki sikap yang positif dalam kehidupan sehari-hari. Diantara ciri-ciri perilaku orang yang beriman kepada qada dan qadar adalah :- Senantiasa ikhtiar (berusaha) dalam mencapai keberhasilan Manusia seringkali tidak bisa mengelak atau menghindari suatu peristiwa, khususnya peristiwa yang tidak diinginkan.Manusia juga selalu menginginkan kebaikan dan keberuntungan berpihak kepada dirinya. Namun hal itupun belum tentu ia dapatkan, upaya untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan dan upaya memperoleh sesuatu yang diinginkan adalah dua hal yang harus dilakukan manusia. Maka dari itu manusia harus wajib berikhtiar.
- Senantiasa tawakal kepada Allah SWT. Selain berikhtiar, langkah selanjutnya untuk mencapai apa yang diharapkan adalah bertawakal kepada Allah. Tawakal merupakan kesadaran diri bahwa apapun upaya yang kita lakukan maka hasilnya adalah terserah keapada Allah swt. Tawakal bisa diartikan sebagai penyerahan secara total atas usaha yang telah dilakukan.
- Senantiasa bersikap tawadlu’ kepada kebesaran Allah SWT Tawadlu merupakan sikap rendah diri.Orang yang beriman kepada qada dan qadar Allah tidak patut berbangga atas keberhasilan usahanya.Sebab semua kejadian yang ada di dunia ini atas kehendak Allah.
E. Perilaku yang Mencerminkan Keimanan Kepada Qada dan Qadar
- Melatih diri untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah
- Mendidik diri untuk ikhlas menerima kenyataan hidup dengan hati sabar dan tabah.
- Cukup tenang dalam hidup ini, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan
- Melatih diri untuk sabar dan tabah saat usahanya belum berhasil
- Selalu meyakini bahwa dari apa yang telah terjadi, pasti ada hikmahnya
F. Manfaat Iman Kepada Qada dan Qadar
- Sabar dalam menghadapi cobaan dari Allah dan tawakal
- Pandai bersyukur dan tidak mudah sombong. Orang yang beriman kepada qada dan qadar akan selalu mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya.
- Yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah, maka orang yang percaya qadla dan qadar Allah akan menerima dengan kelapangan hati atas segala yang menimpa dirinya.
ADAB PERGAULAN REMAJA
Kompetensi Inti
- Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
- Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
- Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, danprosedural) berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 4. Mengolah, menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, mengkai, memodifikasi, danmembuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
Kompetensi Dasar
- Menghayati adab pergaulan remaja yang islami
- Menampilkan perilaku akhlak terpuji dalam pergaulan remaja dalam kehidupan sehari-hari.
- Memahami pentingnya akhlak terpuji dalam pergaulan remaja dan dampak negatif pergaulan remaja yang tidak sesuai dengan akhlak Islam
- Menyajikan data dari berbagai sumber tentang dampak negative pergaulan remaja yang salah dalam fenomena kehidupan
- Mensimulasikan contoh perilaku terpuji dalam pergaulan remaja
َّنِ وا إ ُفَ ار َعَتِ ل َلِ ائ َبَقَ ا و ً وب ُعُ ش ْمُ اك َنْلَعَجَ ى و َثْنُأَ و ٍرَكَ ذ ْنِ م ْمُ اك َنْقَلَ ا خ َّنِ إ ُ اسَّ ا الن َهُّيَ ا أ َي )١٣( ٌ ير ِبَ خ ٌ يم ِلَ ع ََّ اللَّ َّنِ إ ْمُ اك َقْتَ أ َِّ اللَّ َدْنِ ع ْمُكَمَرْكَأ
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal(Qs. Al-Hujurat ayat 13)
Mahabesar Allah SWT yang telah menciptakan manusia dalam berbagai bentuk, baik suku, ras maupun agama.Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat perbedaan itu dapat menyebabkan persaingan yang diakibatkan tumbuhnya rasa egois.
Untuk mencegah dampak negatif dari perbedaan tersebut, hendaknya kita tanamkan sifat ta’aruf, ta’awun, tasamuh, jujur, adil dan amanah dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat !
Sudah menjadi kewajaran jika kita memiliki seorang teman atau sahabat. Karena memang kita diciptakan sebagai makhluk sosial. Kita memiliki teman atau sahabat,bermula dari proses saling mengenal satu dengan yang lain.
A. Akhlaq Terpuji Dalam Pergaulan Remaja
Sudah menjadi kewajaran jika kita memiliki seorang teman atau sahabat. Karena memang kita diciptakan sebagai makhluk sosial. Kita memiliki teman atau sahabat,bermula dari proses saling mengenal satu dengan yang lain.
Akan tetapi,bukan berarti setiap orang yang kita kenal harus kita jadikan teman atau sahabat. Kenapa?,karena seperti kita tahu,tidak semua yang kita kenal punya akhlak yang baik.
Karenanya,memilih teman haruslah selektif. Bagaimanapun,teman atau sahabat kita,sedikit atau banyak,sengaja atau tidak,sadar atau tidak,akan memberi dampak pada perilaku dan akhlak kita.
Rasulullah bersabda :
"ِقْيِرَّ الط َلْبَ ق ُقْيِفَّ لرَ "...ا “
…pilihlah teman,sebelum mengadakan perjalanan”
Hadis di atas jelas, rasulullah memerintahkan kita agar selektif memilih teman. Ibarat pepatah mengatakan : “berteman dengan penjual nangka,kita akan terkena getahnya,berteman dengan penjual minyak wangi,kita akan terkena harumnya”.
Lantas,siapakah sahabat yang baik itu?. Sahabat yang baik adalah:
- a) orang yang senantiasa mengingatkan kita dalam kebaikan dan taqwa
- b) orang yang selalu dekat dengan kita meski kita dalam keadaan susah
- c) orang yang senantiasa ikhlas menolong kita saat kita butuhkan
- d) berbuat baik di depan maupun di belakang kita
Setelah kita memperoleh teman atau sahabat yang baik,maka kita harus memperhatikan etika atau adab bergaul dengan mereka sesuai dengan syariat Islam.
1. Adab Bergaul Terhadap Teman
Islam telah mengajarkan kita untuk menjaga hak-hak teman kita dan senantiasa berbuat baik kepada mereka. Di antara adab berteman yang baik kepada teman adalah:
a. Berbuat Itsar
Di antara hak terhadap sesama yang dianjurkan adalah mendahulukan sahabatnya dalam segala keperluan (itsar) dan perbuatan ini dianjurkan (mustahab). Perhatikanlah firman Allah Ta'ala yang artinya,"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan" (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya. Perbuatan itsar ini hanya berlaku untuk urusan duniawi seperti mendahulukan saudara kita dalam makan dan minum. Sedangkan dalam masalah ketaatan (perkara ibadah), kita harus berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama.
b. Bantulah Sahabatmu yang Berada dalam Kesulitan
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang tidak selalu berjalan lancer. Ada saja kendala yang pasti kita membutuhkan orang lain untuk mengatasinya.
Begitu juga juga sahabat kita,maka menjadi kewajiban kita membantu mereka jika ada kesulitan yang sedang menimpa mereka.
Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah
Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naunganNya. Amin.
“Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendalah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 31).
Bukan berarti kita tidak boleh sama sekali memandang terhadap lawan jenis,apalagi di jaman sekarang yang mau tidak mau kita akan selalu berinteraksi dengan lawan jenis. Tetapi,yang dimaksud adalah kita dilarang memandang dengan penuh syahwat/nafsu. Karenanya,kita diperintahkan untuk menutup aurat sehingga hanya bagian tubuh tertentu saja yang boleh tampak oleh lawan jenis yang bukan mahrom kita.
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya,” (HR. Bukhari & Muslim).
Tidaklah salah jika rasulullah bersabda demikian,karena ketika seseorang berdua-duan saja dengan lawan jenis yang bukan mahromnya,maka yang ketiga adalah setan. Ya,setan,yang akan menjerumuskan seseorang dalam lembah dosa dengan cara menggoda orang yang berduan dengan lawan jenis yang bukan mahromnya.
“Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin,” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya,” (HR. Thabrani
Jika ada akhlak terpuji dalam pergaulan,maka kita akan menemukan akhlak tercela dalam pergaulan. Berikut beberapa contoh akhlak tercela dalam pergaulan.
َ و( )٣٢ يلا ِبَ س َ اء َسَ و ًةَشِ اح َ ف َ ان َ ك ُهَّنِ ا إ َ أنِ وا الز ُبَرْقَ لا ت “
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Ayat di atas jelas, jangankan berbuat zina,mendekatinya saja dilarang. Dan yang pasti,tiap ada pelarangan dalam agama,pasti demi kebaikan kita.
اَفِ ان َطْيَّ لش ِ لاَمَعْنِمٌسْجِرُ لام ْ الأز َوُ اب َصْ الأن َوُرِسْيَمْال َوُرْمَخْ اال َمَّنِ واإ ُنَ آم َ ين ِذَّ اال َهُّيَ اأ َي َ ون ُحِلْفُتْمُكَّلَعَلُ وه ُبِنَتْج (٩٠) َ يَوِرِسْيَمْال َوِرْمَخْ يال ِفَ اء َضْغَبْال َوَةَ اوَدَعْال ُمُكَنْيَبَعِ وق ُيْنَأُ ان َطْيَّ الش ُ يد ِرُ اي َمَّنِإ َّ َ دُص ون ُهَتْنُمْمُتْنَ ْ )٩١( لَِهَفِ لاة َّ الص ِنَعَوِهَّ الل ِرْكِذْنَعْمُك
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)(Qs. Al-Maidah ayat 9091)
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, “Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamer, dan tiap-tiap khamer itu haram” (H.R Muslim) Dari Ibnu Umar berkata, Nabi SAW, bersabda, “Allah melaknat khamar, peminumnya, penyajinya, pembelinya, penjualnya, pembuatannya, tempat pembuatannya, pembawanya, dan penerimanya.” (H.R. Abu Dawud)
Begitu juga juga sahabat kita,maka menjadi kewajiban kita membantu mereka jika ada kesulitan yang sedang menimpa mereka.
c. Jagalah Kehormatan Sahabatmu
Rasulullah shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda pada khutbah ketika haji Wada' yang artinya,"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah
Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naunganNya. Amin.
2. Adab Bergaul Dengan Lawan Jenis
ISLAM adalah agama yang sempurna, di dalamnya diatur seluk-beluk kehidupan manusia,termasuk juga pergaulan antara lawan jenis. Di antara adab bergaul antara lawan jenis sebagaimana yang telah diajarkan oleh agama kita adalah:a. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
Allah berfirman yang artinya,“Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendalah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30). Allah juga berfirman yang artinya,”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 31).
Bukan berarti kita tidak boleh sama sekali memandang terhadap lawan jenis,apalagi di jaman sekarang yang mau tidak mau kita akan selalu berinteraksi dengan lawan jenis. Tetapi,yang dimaksud adalah kita dilarang memandang dengan penuh syahwat/nafsu. Karenanya,kita diperintahkan untuk menutup aurat sehingga hanya bagian tubuh tertentu saja yang boleh tampak oleh lawan jenis yang bukan mahrom kita.
b. Tidak berdua-duaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan (kholwat) dengan wanita kecuali bersama mahromnya,” (HR. Bukhari & Muslim).
Tidaklah salah jika rasulullah bersabda demikian,karena ketika seseorang berdua-duan saja dengan lawan jenis yang bukan mahromnya,maka yang ketiga adalah setan. Ya,setan,yang akan menjerumuskan seseorang dalam lembah dosa dengan cara menggoda orang yang berduan dengan lawan jenis yang bukan mahromnya.
c. Tidak menyentuh lawan jenis
Di dalam sebuah hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,“Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin,” (HR. Bukhari). Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya,” (HR. Thabrani
B. Akhlaq Tercela Dalam Pergaulan Remaja
Jika ada akhlak terpuji dalam pergaulan,maka kita akan menemukan akhlak tercela dalam pergaulan. Berikut beberapa contoh akhlak tercela dalam pergaulan.
1. Pergaulan bebas antar lawan jenis
Bukan menjadi rahasia dan tabu lagi,di jaman yang katanya moderen ini,para remaja banyak yang tidak lagi memperhatikan norma-norma agama dan susila dalam pergaulan. Begitu juga dalam bergaul dengan lawan jenis. Banyak yang menganggap bergaul dengan sebebasbebasnya adalah ciri dari masyarakat modern. Mereka menganggap hal itu adalah hak asasi tiap individu dan tidak boleh dilarang. Padahal jelas,bahwa hal ini lebih banyak berdampak negatifnya daripada positifnya. Ujung-ujungnya adalah zina yang jelas dilarang agama,dan yang pasti merugikan pelakunya. Allah berfirman dalam Q.S. al-Isra’ ayat 32 :َ و( )٣٢ يلا ِبَ س َ اء َسَ و ًةَشِ اح َ ف َ ان َ ك ُهَّنِ ا إ َ أنِ وا الز ُبَرْقَ لا ت “
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Ayat di atas jelas, jangankan berbuat zina,mendekatinya saja dilarang. Dan yang pasti,tiap ada pelarangan dalam agama,pasti demi kebaikan kita.
2. Judi dan khamer
Judi adalah setiap “pemainan untang-utangan dengan bertaruh” atau “setiap permainan harta dengan bertaruh”. Agama kita jelas melarang judi dan khamer,sebagaimana Allah berfirman :اَفِ ان َطْيَّ لش ِ لاَمَعْنِمٌسْجِرُ لام ْ الأز َوُ اب َصْ الأن َوُرِسْيَمْال َوُرْمَخْ اال َمَّنِ واإ ُنَ آم َ ين ِذَّ اال َهُّيَ اأ َي َ ون ُحِلْفُتْمُكَّلَعَلُ وه ُبِنَتْج (٩٠) َ يَوِرِسْيَمْال َوِرْمَخْ يال ِفَ اء َضْغَبْال َوَةَ اوَدَعْال ُمُكَنْيَبَعِ وق ُيْنَأُ ان َطْيَّ الش ُ يد ِرُ اي َمَّنِإ َّ َ دُص ون ُهَتْنُمْمُتْنَ ْ )٩١( لَِهَفِ لاة َّ الص ِنَعَوِهَّ الل ِرْكِذْنَعْمُك
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)(Qs. Al-Maidah ayat 9091)
Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, “Tiap-tiap yang memabukkan adalah khamer, dan tiap-tiap khamer itu haram” (H.R Muslim) Dari Ibnu Umar berkata, Nabi SAW, bersabda, “Allah melaknat khamar, peminumnya, penyajinya, pembelinya, penjualnya, pembuatannya, tempat pembuatannya, pembawanya, dan penerimanya.” (H.R. Abu Dawud)
3. Narkoba
Narkotika dalam Islam sering disebut “hasyisy” yang hukumnya jelas haram karena memabukkan dan termasuk khamer sebagaimana dijelaskan dalam hadis nabi di atas. Orang yang mengkonsumsinyajelas berdosa dan dikenakan hukuman sebagaimana orang yang minum khamar. Adapun jenis-jenis narkoba adalah :- a) Ganja atau marijuana
- b) Opiate
- c) Cocaine
- d) Candu dengan komponen-komponen yang aktif yaitu morfin dan heroin
- e) Obat berbahaya yang disalahgunakan secara gelap, yaitu rohypnol, valium, cosadon, magadon, BK, dan sedatin
Rangkuman
Adab pergaulan antara laki-laki perempuan berguna agar kaum Muslim tidak tersesat di dunia sehingga mereka merugi di akhirat. Adab-adab tersebut antara lain sebagai berikut:- Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
- Allah berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30) ”Dan katakalah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nur: 31)
- Tidak berdua-duaan
- Rasulullah saw bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya." (HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim).
- Tidak berbicara berduaan dengan orang lain
- Seorang muslim yang memahami agama memiliki perasaan dan kesadaran. Dia menghormati perasaan orang lain dan tidak melukai mereka. Oleh karenanya, dia memakai cara-cara yang baik ketika berbicara kepada mereka, dan diantara cara-cara yang baik adalah tidak berbicara berduaan ketika ada orang yang ketiga.
- Tidak menyentuh lawan jenis
- Di dalam sebuah hadits, Aisyah ra berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat (janji setia kepada pemimpin).” (HR. Bukhari) Hal ini karena menyentuh lawan jenis yang bukan mahromnya merupakan salah satu perkara yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah bersabda, “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dengan sanad hasan)
ADAB ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN
Kompetensi Inti
- Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
- Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
- Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
- Mengolah, menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, mengkai, memodifikasi, danmembuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
Kompetensi dasar
- Menghayati Adab terhadap lingkungan, yaitu: kepada binatang dan tumbuhan, di tempat umum, dan di jalan
- Terbiasa beradab islami terhadap lingkungan, yaitu: kepada binatang dantumbuhan, di tempat umum, dan di jalan
- Memahami adab terhadap lingkungan, yaitu: kepada binatang dan tumbuhan, di tempat umum, dan di jalan 4.4 Mensimulasikan adab terhadap lingkungan, yaitu: kepada binatang dan tumbuhan, di tempat umum, dan di jalan
ADAB TERHADAP LINGKUNGAN
A. Adab Kepada Binatang
Hewan atau binatang merupakan makhluk Allah yang diciptakan untuk melengkapi kehidupan manusia. Manusia bisa mendapat berbagai manfaat darinya.. Binatang juga makhluk Allah yang diberikan nyawa dan mempunyai perasaan, hanya saja ia tidak memiliki akal fikiran seperti manusia yang diciptakan untuk menjadi khalifah Allah s.w.t di muka bumi. Oleh karenanya,kita harus memperhatikan adab kepada hewan sebagaimana telah diatur oleh agama.
Di antara adab-adab kepada hewan adalah :
- Memberinya makan dan minum apabila hewan itu lapar dan haus, karena Rasulullah s.a.w bersabda : “Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang ada di langit” (Riwayat At-Tirmizi)
- Menyayangi dan memberikan kasih sayang kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w ketika para sahabatnya menjadikan burung sebagai sasaran memanah. “Allah melaknat orang yang menjadikan alam yang bernyawa sebagai sasaran. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
- Menyenangkannya di saat menyembelih atau membunuhnya, karena Rasulullah s.a.w telah bersabda,: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan, dan apabila kalian menyembelih hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan, dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya” (Riwayat Muslim)
- Tidak menyiksanya dengan cara penyiksaan apapun, atau dengan membuatnya kelaparan, memukulinya, membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak mampu, menyiksanya atau membakarnya, karena Rasulullah Shallallahu saw. telah bersabda : “Seorang perempuan masuk neraka karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati, maka dari itu ia masuk neraka karena kucing tersebut, disebabkan ia tidak memberinya makan dan tidak pula memberinya minum di saat ia mengurungnya, dan tidak pula ia membiarkannya memakan serangga di bumi” (Riwayat Bukhari)
- Boleh membunuh hewan yang mengganggu, seperti anjing buas, serigala, ular, kalajengking, tikus dan lain-lainnya, karena beliau telah bersabda: “ Ada lima macam hewan fasik yang boleh dibunuh di waktu halal (tidak ihram) dan di waktu ihram, yaitu ular, burung gagak yang putih punggung dan perutnya, tikus, anjing buas dan rajawali” (Riwayat Muslim). Juga ada hadits sahih yang membolehkan membunuh kalajengking dan mengutuknya.
Itulah beberapa adab atau etika yang selalu dipelihara oleh seorang muslim terhadap hewan.
B. Adab Terhadap Tumbuhan
Sebagaimana hewan, tumbuhan juga makhluk yang diberi nyawa oleh Allah SWT. Karenanya kita juga harus menjaga adab terhadap tumbuhan. Adapun beberapa adab terhadap tumbuhan adalah :
- Tidak merusak dan menebang pohon sembarangan, Allah swt. Berfirman dalam Q.S. alNazi’at[79]: 31-32 yang artinya :“(31) Dialah yang memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. (32)dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh”. - Dari ayat tersebut, lingkungan dapat diwujudkan dalam bentuk perbuatan manusia yaitu dengan menjaga keserasian dan kelestarian serta tidak merusak lingkungan hidup. Usahausaha yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah-masalah kelestarian lingkungan
- Tidak buang hajat dibawah pohon berbuah, Rasulullah bersabda yang berarti : “Jangan buang air di lubang binatang, di jalan tempat orang lewat, di tempat berteduh, di sumber air, di tempat pemandian, di bawah pohon yang sedang berbuah, atau di air yang mengalir ke arah orang-orang yang sedang mandi atau mencuci." (H.R. Muslim, Tirmidzi)
- Membayar zakat hasil tanaman, Dalam surat al-baqarah ayat 267, Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu“.
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa Allah menyuruh umatnya untuk menzakatkan hasil bumi yang dikelolanya, misalnya pertanian, perkebunan, dan sebagainya dengan maksud, agar manusia saling berbagi terhadap sesamanya. Selain itu zakat juga sangat bermanfaat untuk mensucikan harta kita. Dan Allah tidak akan membuat seseorang menjadi miskin jika mau mengeluarkan sebagian hartanya untuk sesamanya yang kurang mampu.
C. Adab di Jalan dan Tempat Umum
Islam adalah agama yang sempurna. Ketika berada di jalan umumpun, kita diatur untuk beradab secara baik dan memberikan hak-hak jalan. Pada dasarnya, Rasulullah SAW melarang kita untuk duduk di jalan, sebagaiman sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudriy
ُثَّدَحَتَ ا ن َنُسِال َجَ م َيِ ا ه َمَّنِ إ ٌّدُ ا ب َنَ ا ل َ ا: م ْوُال َقَ ف ِ ات َقُرُّ الط َ لي َ ع َسْوُلُ لجْاَ و ْمُكَّ يا ِإ َ ُّ لمْ ا َّلاِ إ ْمُتْيَبَ ا أ َذِإَ : ف َ ال َ ق ،اَهْيِف قَ ا ح َمَ ا: و ْوُال َ ا. ق َهَّقَ ح َقْيِرَّ ا الط ْوُطْعَأَ ف َ لس ِاَج ِنَ ع ٌيْهَنَ و ِفْوُرْعَمْال ِ ب ٌرْمَأَ ى و َذَلأْ ا ُّفَكَ و ِرَصَبْ ال ُّضَ :غ َ ال َ ؟ ق ِقْيِرَّ الط ِرَكْنُمْال "
Hindarilah duduk di jalan-jalan. Mereka berkata: 'Kami tidak bisa meninggalkan tempat itu, tempat kami berbincang-bincang disini'. Bersabda Rasulullah SAW: "Jika kalian enggan meninggalkan tempat ini, maka berilah hak jalan". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?". Rasulullah menjawab: "Menundukkan pandangan, mencegah kemadharatan, dan amar ma’ruf nahi munkar'"(H.R.Abu Sa’id al-Khudriy)
Dari hadis di atas jelas, bahwa jika kita terpaksa harus duduk-duduk di jalan umum, maka kita harus memberikan hak-hak jalan. Hak-hak jalan sesuai dengan hadis di atas adalah:
- Menundukkan pandangan(tidak melihat ke sana sini,apalagi pada orang yang berlalu lalang)
- Mencegah kemadhratan (bahaya) yang ada di jalan. Termasuk menyingkirkan sesuatu yang bisa membahayakan pengguna jalan,karena itu adalah shadaqah
- Amar ma’ruf nahi munkar (memerintah/mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan)
KETELADANAN SAHABAT USMAN BIN AFFAN DAN ALI BIN ABI THALIB
Kompetensi Inti
- Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
- Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
- Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
- Mengolah, menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, mengkai, memodifikasi, danmembuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuaidengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
Kompetensi Dasar
- Menghayati kisah keteladanan shahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
- Meneladani sifat-sifat utama shahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
- Menganalisis kisah keteladanan shahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
- Menceritakan kisah keteladaan Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
AMATI DAN BACA CERITA BERIKUT!
A. Keteladanan Sahabat Usman Ibnu Affan
Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu merupakan salah satu dari empat khulafa’ rasyidin tersebut. Berbagai sifat terpuji membuat semua orang tidak ragu memberikannya tampuk kepemimpinan setelah sepeninggalan khalifah kedua, ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu. ‘Utsman merupakan satu dari sekian banyak lulusan terbaik dari madrasah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Darinya lah kepribadian ‘Utsman yang tangguh itu terbentuk. Berbagai keilmuan beliau serap dari sang nabi terakhir itu. Sebuah berkah dari kebersamaannya bersama Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, baik ketika masih di Madinah maupun ketika sudah berhijrah ke Makkah.
Satu contoh kongkrit bagaimana ‘Utsman menerima pengajaran dari madrasah kenabian itu ialah kealimannya tentang Al-Quran. Darinya, beliau meriwayatkan sebuah hadits masyhur yang selalu dijadikan sebagai syiar ahli Quran, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”.
Tentang bagaimana ‘Utsman beserta shahabat lain mempelajari Al-Quran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mari kita dengarkan penuturan Abu ‘Abdurrahman As-Sulami. Beliau bercerita, “Orang-orang yang mengajari kami Al-Quran –seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya- menceritakan, bahwa jika mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mereka tidak akan melampaunya sampai mereka mempelajari ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, ‘Jadi kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amalnya sekaligus”.
Sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ‘Utsman sempat menyetorkan hafalan Al-Quran dari awal hingga akhir kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Diceritakan bahwa ‘Utsman radhiallahu’anhu mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat, yaitu rekaat witir. Dan ini merupakan salah satu kebiasaanya. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (VII/215), Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Hal seperti ini telah diriwayatkan dari selain jalur ini, bahwa beliau shalat satu rekaat dengan Al-Quran di sisi Hajar Aswad, di waktu haji. Ini merupakan salah satu kebiasaannya. Semoga Allah meridhainya”.
‘Utsman pernah berkata, “Dari dunia ini aku diberi kecintaan pada tiga hal, yaitu memberikan kekenyangan pada orang-orang yang kelaparan, memberikan pakaian pada orangorang yang tidak punya pakaian, dan membaca Al-Quran”.
Beliau juga pernah menyatakan, “Seandainya hati kita suci, tentulah kita belum lagi merasa kenyang terhadap kalam Rabb kita. Dan sesungguhnya diriku merasa benci ada hari di mana aku tidak melihat mushaf Al-Quran.”
Dari sini nampaklah bagaimana kepribadian dan akhlak ‘Utsman terbentuk menyatu dalam dirinya. Sesungguhnya itu semua dari berkah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan kebiasaannya menjaga Al-Quran yang menjadikannya kuat menerima tampuk kepemimpinan sepeninggalan ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu. Baiklah. Kiranya beberapa hal di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana sosok kepribadian ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu. Mari sekarang kita lihat ketekadannya dalam memimpin umat.
Dalam masa kepemimpinannya, ‘Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan ‘Umar.
Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang diketengahkan AtTirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan ‘Umar.
Metode kepemimpinan ‘Utsman ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinannya. Yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya. Kenyataan ini tentu mengingatkan kita pada sebuah kaidah kepemimpinan yang masyhur, yaitu sebuah ungkapan, “Mulailah dengan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu. Jangan memulai dari apa yang telah dimulai orang-orang terdahulu.” Maksudnya ketika memimpin atau aktifitas lainnya hendaknya dilakukan dengan meneruskan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu, bukan malah memulai sebagaimana orang-orang terdahulu memulai.
Dari sekian banyak corak kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan ialah perhatiannya terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rab-nya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai. Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya, ia berkata, “Aku mendengar ‘Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang’”.
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan ‘Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar ‘Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian –maksudnya dadu. Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu apabila ada dadu di rumahnya, hendaklah ia membakarnya atau menghancurkannya”.
Di lain kesempatan ‘Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kekirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”.
Jual-beli merupakan aktifitas mutlak yang tidak bisa ditinggalkan oleh siapa pun. Dari aktifitas ini orang dapat memenuhi kebutuhannya. Ia salah satu kegiatan penting masyarakat. Oleh karena itu Utsman juga sangat memperhatikan aktifitas jual beli ini. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat, terutama di masa sekarang ini. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu tolak ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orang-orang pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam riwayat lain, sebagaimana yang dinukil As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’ hlm. 163 yang dinukilnya dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, ‘Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit.
Dalam Hilyah Al-Auliya (I/61), tersebut bahwa Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama ‘Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahan-kesalahannya itupun hancur lebur.’ Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’
Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.’”.
Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepada daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyatnya.
Walaupun mungkin dalam setiap urusan masyarakat ada orang-orang tertentu yang sudah ditunjuk kepala negara sebagai penanggungjawab, namun hal tersebut sebaiknya tidak menghalangi seorang pemimpin negara mencari tahu sendiri aktifitas yang tengah berlangsung. Tidak seperti sebagian pemimpin hanya karena sudah menugaskan orang tertentu sebagai penanggungjawab lalu jika ditanya tentang hal tersebut dengan mudah menjawab, “Bukan urusan saya”. Sebuah ungkapan ‘jitu’ untuk lari dari tanggungjawab besar seorang pemimpin negara.
Hal rendah seperti ini tidak terjadi pada diri ‘Utsman bin ‘Affan Shallallahu’alaihi Wasallam saat dirinya menjabat sebagai kepala negara. Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat ‘Utsman bin ‘Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.” Dalam kesempatan itulah ‘Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal. Ibnu Qutaibah dalam Al-Mushannaf fi Al-Hadits (III/1023) melaporkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia menuturkan, “Aku telah menjumpai zaman kepemimpinan ‘Utsman. Tidak ada jiwa muslim pun kecuali memiliki hak dari baitul maal”.
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (X/386) menceritakan bahwa suatu saat ‘Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliaupun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100”.
Demikian juga di antara kegiatan ‘Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orang-orang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang beliau kirimkan kepada setiap orang yang bertanggungjawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, sebagaimana yang termaktub dalam Tarikh AthThabari (V/244), ‘Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat.
Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak maysrakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, maka berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji.
Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. ‘Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan”.
Demikian yang tercatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/244). dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, seperti yang dicatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/245), antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah). Sibuknya memimpin umat negara yang sudah hampir memasuki Eropa tidak kemudian membuat ‘Utsman melalaikan akan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah ‘Azza wa Jalla. Justru dalam kepemimpinannya ini beliau lebih memper-
banyak beribadah kepada Allah dan bermunajat pada-Nya. Ia begitu sadar bahwa amanat serta tanggungjawab yang diembannya bukanlah perkara ringan. Oleh sebab itu hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya kiranya dapat lebih dipererat lagi agar dalam menjalankan tugas mendapat petunjuk dari-Nya. Gambaran banyaknya ibadah yang menjadi rutinitas Utsman salah satunya sudah kita sebutkan di atas. Ya.
Beliau Biasa mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat shalat di sisi Hajar Aswad. Oleh karena itu ketika menafsirkan ayat kesembilan dari surat Az-Zumar yang artinya: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktuwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Az-Zummar: 9). ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu mengatakan, “Dia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.” Sementara itu ketika menafsirkan ayat: “Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl: 76).
Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menyatakan, “Dia adalah ‘Utsman”. Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu juga terkenal biasa melakukan puasa sepanjang masa dan pada malam harinya mengerjakan shalat sepanjang malam kecuali di awal malam yang digunakannya untuk memejamkan mata sejenak. Demikian seperti yang ‘terekam’ dalam Shifah Ash-Shafwah I/302. Selain itu Utsman juga dikenal sebagai sosok yang berkepribadian dermawan dan tawadhu’ meski sebagai orang nomor satu di zamannya. Mubarak bin Fadhalah meriwayatkan dari Al-Hasan, ujarnya, “Aku pernah melihat Utsman tidur di Masjid sedangkan selendangnya (kain yang biasa dikenakan untuk menutupi bagian atas badan) berada di bawah kepalanya. Orang-orang pun mulai berdatangan duduk di sisinya sehingga seakan-akan beliau bagian dari mereka.” Demikianlah sekelumit riwayat hidup Utsman radhiallahu’anhu di masa-masa kepemimpinannya.
Tentu di sana masih banyak lagi potret kebijaksanaan dan keteladanan Utsman dalam memimpin yang kiranya perlu dicontoh oleh siapa saja yang tengah memegang tampuk kepemimpinan, sekecil apa pun kepemimpinan yang dipegangnya. Jika kita terus menelusuri sejarah Islam beserta tokoh-tokohnya, tentu kita akan merasa cukup mencari sosok dan pelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Tidak ada tokoh dan keindahan sejarah mana pun yang dapat menandingi sejarah Islam serta para pelaku sejarah itu. Maka tidak ada teladan kecuali keteladanan dalam Islam.
Namun sayang seribu sayang, kenyataan justru berkata sebaliknya. Banyak orang yang lebih mendahulukan sejarah dan ketokohan orang-orang Barat dibandingkan ketokohan umat Islam sendiri.
Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin yang keempat. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat perang Khaibar. Satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda tentang dirinya, “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku” (HR. Muslim no. 4418). Ali bin Abi Thalib, semoga ridho Allah senantiasa menyertainya, terdidik dengan sifat-sifat yang luhur dan mulia.
Di bawah asuhan Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Di antara sikap tersebut adalah, rasa tanggung jawab atau amanah yang nantinya akan sangat berguna saat dia menjadi pemimpin. Ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy dahulu, mereka menitipkan barang berharga mereka kepada orang yang dipandang amanah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam orang yang dikenal amanah di kalangan mereka. Sampai mereka menjuluki beliau dengan “Al-Amin” (orang yang dapat dipercaya).
Ali pun menjalankan pesan Rasulullah tersebut dengan baik, sesuai yang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Tarikh al Khulafa, hal. 157). Tekad beliau dalam membumikan tauhid di muka bumi amat tinggi. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau saat hari-hari peperangan Khaibar. Beliau membulatkan tekad untuk tetap ikut dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menuju Khaibar. Padahal saat itu mata beliau sedang sakit parah. Bukan perjuangan ringan saat harus berhadapan hembusan debu sahara dan jauhnya perjalanan.
Salamah bin al Akwa’ radhiyallahu’anhu, menceritakan tentang kegigihan Ali radhiyallahu’anhu ketika itu, “Awalnya Ali berkeinginan untuk tidak ikut ke Khaibar terlebih dahulu. Karena sakit mata yang dideritanya cukup parah. Namun Ali mengatakan, “Tidak, saya tidak ikut serta bersama Rasulullah” Akhirnya Ali memutuskan untuk bergabung ke dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian di saat senja di hari-hari perang Khaibar, yang esuk harinya dibukalah kota Khaibar, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Esok hari, bendera ini akan saya berikan kepada seorang yang dicintai Allah dan RasulNya.” Atau beliau bersabda, “Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“. Ternyata Ali lah orang yang beruntung mendapatkan bendera tersebut. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan bendera tersebut kepada Ali. (Shahih Bukhari: Kitab al Maghozi 3: 137, dalam Manhaj Ali fid Dakwati ilallah).
Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adilah dalam hal takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’ 28: 235). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sembari menyambangi para pedagang, beliau mengingatkan mereka akan firman Allah ta’ala, Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin.
Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15). Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut. Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani.
Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih.
Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. “Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”. Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu. Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya.
Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashas: 83). “Ayat ini,” jelas Ali, “turun berkenaan orang-orang yang berbuat adil dan tawadu’ (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 282).
Indahnya, seorang pemimpin menyambangi rakyat kecil. Lalu mengingatkan mereka tentang akhirat. Karena kesejahteraan suatu negeri, tak hanya berporos pada hal-hal duniawi saja. Namun, hubungan rakyat dengan Sang Khalik adalah faktor utama kesejahteraan suatu bangsa. Dharar bin Dumrah menceritakan, saat diminta sahabat Muawiyah radhiyallahu’anhu untuk bercerita di hadapan beliau tentang kepribadian sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
“Ali” terang Dharar, “adalah orang yang visinya jauh ke depan, lelaki yang kuat, bicaranya jelas, keputusannya adil, menguasai banyak cabang ilmu, dan perkataannya bijak. Menjauh dari hingar-bingar dunia, bersahabat dengan sunyinya malam (untuk beribadah), mudah menangis (karena takut kepada Allah), suka pakaian pendek (sederhana), makanannya makanan rakyat kecil. Beliau di kalangan kami seperti sudah bagian dari kami. Bila dimintai beliau menyanggupi dan bila diundang beliau datang. Namun kedekatannya dengan kami dan akrabnya kami dengan beliau, kami tetap merasa segan dengan beliau.
Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin. Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15). Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut. Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang.
Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. “Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”. Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu. Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai.
Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya. Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
Utsman adalah bagian dari sahabat terbaik Nabi S.A.W, ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut kepada sesama mukmin. Hatinya sering tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia selalu berusaha membantu kesulitan rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka, rajin menyambung silaturrahim, memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah dan berusaha menghindarkan kesulitan mereka. Ia dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan kesalahan orang lain. Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah SAW. Ia mencontoh perkataan, perbuatan dan perilaku Nabi SAW.
Ada banyak peristiwa yang menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mendahulukan sikap santun dan maaf, murah hati dan tidak bergantung pada dunia. Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia sehingga ia tidak menjadi orang yang egois yang mengutamakan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.
Materi dunia yang melimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman ibn Affan untuk mencintai dunia. Ia selalu menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan yang paling tinggi. Hatinya tak pernah terikat kepada dunia sehingga ia dapat setiap saat melepaskan semua miliknya demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, ia termasuk orang yang paling berhak atas apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an: “dan barang siapa terjaga dari sikap kikir, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. AtTaghabun).
Tentu saja ia berhak mendapatkan balasan yang mulia itu karena ia terbiasa membebaskan seorang budak setiap Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul Utsman sekeluarnya dari masjid. Thalhah berkata, “Aku sudah punya lima puluh ribu dirham yang kupinjam darimu. Aku akan mengutus seseorang untuk menyerahkannya kepadamu.”Utsman menjawab, “Biarlah semua itu kuberikan kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga dikisahkan bahwa sebelum Nabi datang ke Madinah, di sana ada sumur yang disebut sumur Rawmah. Air sumur itu sangat tawar. Setiap orang yang ingin minum dari sumur itu harus membelinya. Sumur itu milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam semakin berat dihimpit kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran, “Barang siapa membeli sumur Rawmah, baginya surga.”
Mendengar pernyataan itu, Utsman bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri membeli sumur itu seharga 35.000 dirham. Ia menggratiskan siapa saja untuk memanfaatkan air sumur itu, baik yang kaya, miskin, atau pun para musafir. Inilah
Pada masa pemerintahan Al-Faruq, kaum muslim dilanda paceklik. Karena beratnya kehidupan yang harus dihadapi, tahun itu disebut tahun kelabu. Ketika nestapa semakin memuncak, orang-orang menghadap Umar r.a. dan berkata, “Wahai Khalifah, langit tak menurunkan hujan dan enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa. apa yang harus kita lakukan?”Umar memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia berkata, “Sabar dan bertahanlah. Aku berharap Allah memberikan jalan keluar dari keadaan ini sebelum malam tiba.”
Sore harinya terdengar kabar bahwa kafilah dagang Utsman ibn Affan telah kembali dari Syria dan akan tiba di Madinah esok pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut kafilah itu. Seribu unta membawa gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh rombongan kafilah dan kendaraannya berkumpul di depan rumah Utsman ibn Affan r.a. Ketika para buruh sibuk menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas menemui Utsman. Mereka berkata, “Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai Abu Amr.”
Utsman menjawab, “Dengan senang hati dan aku merasa terhormat. Tetapi, berapa kalian akan memberiku keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham yang engkau beli, kami memberimu dua dirham.”
“Aku bisa mendapat lebih dari itu.jawab Utsman”. Lalu mereka kembali menaikkan harga. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapat lebih dari yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan harga lagi. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu.”Mereka berkata, “Wahai Abu Amr, Siapakah yang berani memberimu keuntungan lebih dari tawaran kami?.”
Utsman menjawab: “Allah SWT. memberiku keuntungan sepuluh kali lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku bersaksi kepada Allah, semua yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir miskin di kalangan umat Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun. Kulakukan semua itu semata-mata mengharapkan pahala dan keridhoan Allah SWT”. Inilah karakter Usman bin Affan yang termaktu dalam firman Allah:
ٌ ةَ اص َصَ خ ْمِهِ ب َ ان َ ك ْوَلَ و ْمِهِسُفْنَ ى أ َلَ ع َ ون ُرِثْؤُيَو )9( َ ون ُحِلْفُمْ م ال ُ ه َكِئَول ُأَ ف ِهِسْفَ ن َّحُ ش َ وق ُ ي ْنَمَو
" Dan mereka mendahulukan kepentingan orang lain (rakyat) di atas kepentingan mereka sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari kekikiran dirinya, maka dialah orang-orang yang beruntung (Q.S AlHasyr: 9)
Itu gambaran keimanan dan kedermawanan Utsman ibn Affan. Sebanyak apapun harta dunia yang dimiliki, semuanya tidak berarti di hatinya. Bagi para sahabat Nabi, dunia ini tidak artinya. Kendati hidup bergelimang harta, ia tetap mengutamakan akhirat.Hasan Al-Bashri bercerita,
“Aku pernah melihat Khalifah Utsman ibn Affan berbicara di masjid. Ketika ia berdiri, bekas-bekas tanah terlihat di punggungnya. Seseorang berkata, ‘Inilah Amirul Mukminin…Inilah Amirul Mukminin…..’ Sungguh mengagumkan, ia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain, sedangkan ia hanya makan cuka dan minyak samin. Ia membiarkan lambungnya bekerja keras.”
Beliau adalah salah satu –selain Abu Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana sabada rasulullah SAW. lulusan terbaik dari madrasah Nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah SAW. Diantara keistimewaan belaiu adalah Allah menganugerahkan kecerdasan di atas rata-rata,sampai-sampai rasulullah bersabda “aku adalah kotanya ilmu,sedangkam Ali adalah pintunya”.
Di antara kisahnya adalah perselisihan beberapa sahabat tentang ilmu berhitung. Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untukmakan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti. Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka. “Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan.“Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti.“Aku setuju,”jawab sahabatnya.“Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu adalah tiga dirham.“Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.”“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih banyak” .
Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat.Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!”“Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu.“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?”“Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar? ,kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.”“Benar.”jawab keduanya.“Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.”‘Benar”. “Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.”. “Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. “Setuju, “jawab keduanya serempak.“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam Ali.“Benar, ”jawab keduanya. “Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”“Benar.”“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.“si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut.
Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?” Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu”“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya. “Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah kecerdasan Ali,meski demikian, beliau adalah orang yang mempunyai rasa tawadlu’ yang tinggi. Beliau pernah berucap : اًفْرَ ح ْوَلَ و ْيِنَمَّلَ ع ْنَ م ُمِ اد َ خَ ناَ أ yang artinya: “aku (berkenan) menjadi pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu huruf”.
B. Keteladanan Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a
Ali bin Abi Thalib, semoga ridha Allah senantiasa menyertainya, khalifah Ar Rasyidin yang keempat. Sepupu sekaligus menantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Pembawa panji kehormatan dari Nabi pada saat perang Khaibar. Satu dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda tentang dirinya, “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku” (HR. Muslim no. 4418). Ali bin Abi Thalib, semoga ridho Allah senantiasa menyertainya, terdidik dengan sifat-sifat yang luhur dan mulia.
Di bawah asuhan Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Di antara sikap tersebut adalah, rasa tanggung jawab atau amanah yang nantinya akan sangat berguna saat dia menjadi pemimpin. Ketika Nabi shallallahu’alaihiwasallam hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum Quraisy. Kebiasaan kaum Quraisy dahulu, mereka menitipkan barang berharga mereka kepada orang yang dipandang amanah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam orang yang dikenal amanah di kalangan mereka. Sampai mereka menjuluki beliau dengan “Al-Amin” (orang yang dapat dipercaya).
Ali pun menjalankan pesan Rasulullah tersebut dengan baik, sesuai yang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. (Tarikh al Khulafa, hal. 157). Tekad beliau dalam membumikan tauhid di muka bumi amat tinggi. Lihatlah bagaimana perjuangan beliau saat hari-hari peperangan Khaibar. Beliau membulatkan tekad untuk tetap ikut dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menuju Khaibar. Padahal saat itu mata beliau sedang sakit parah. Bukan perjuangan ringan saat harus berhadapan hembusan debu sahara dan jauhnya perjalanan.
Salamah bin al Akwa’ radhiyallahu’anhu, menceritakan tentang kegigihan Ali radhiyallahu’anhu ketika itu, “Awalnya Ali berkeinginan untuk tidak ikut ke Khaibar terlebih dahulu. Karena sakit mata yang dideritanya cukup parah. Namun Ali mengatakan, “Tidak, saya tidak ikut serta bersama Rasulullah” Akhirnya Ali memutuskan untuk bergabung ke dalam barisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian di saat senja di hari-hari perang Khaibar, yang esuk harinya dibukalah kota Khaibar, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Esok hari, bendera ini akan saya berikan kepada seorang yang dicintai Allah dan RasulNya.” Atau beliau bersabda, “Ia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya“. Ternyata Ali lah orang yang beruntung mendapatkan bendera tersebut. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan bendera tersebut kepada Ali. (Shahih Bukhari: Kitab al Maghozi 3: 137, dalam Manhaj Ali fid Dakwati ilallah).
Beliau sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adilah dalam hal takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’ 28: 235). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sembari menyambangi para pedagang, beliau mengingatkan mereka akan firman Allah ta’ala, Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin.
Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15). Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut. Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani.
Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih.
Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. “Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”. Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu. Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya.
Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Qashas: 83). “Ayat ini,” jelas Ali, “turun berkenaan orang-orang yang berbuat adil dan tawadu’ (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 282).
Indahnya, seorang pemimpin menyambangi rakyat kecil. Lalu mengingatkan mereka tentang akhirat. Karena kesejahteraan suatu negeri, tak hanya berporos pada hal-hal duniawi saja. Namun, hubungan rakyat dengan Sang Khalik adalah faktor utama kesejahteraan suatu bangsa. Dharar bin Dumrah menceritakan, saat diminta sahabat Muawiyah radhiyallahu’anhu untuk bercerita di hadapan beliau tentang kepribadian sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
“Ali” terang Dharar, “adalah orang yang visinya jauh ke depan, lelaki yang kuat, bicaranya jelas, keputusannya adil, menguasai banyak cabang ilmu, dan perkataannya bijak. Menjauh dari hingar-bingar dunia, bersahabat dengan sunyinya malam (untuk beribadah), mudah menangis (karena takut kepada Allah), suka pakaian pendek (sederhana), makanannya makanan rakyat kecil. Beliau di kalangan kami seperti sudah bagian dari kami. Bila dimintai beliau menyanggupi dan bila diundang beliau datang. Namun kedekatannya dengan kami dan akrabnya kami dengan beliau, kami tetap merasa segan dengan beliau.
Ali adalah pemimpin yang memuliakan para alim ulama, tidak menjauh dari orang-orang miskin. Dalam kepemimpinan beliau, orang yang kuat tak bisa sekehendak melakukan kezaliman, dan orang yang lemah tidak khawatir akan keadilannya” (Al Khulafa ar Rasyidun: Ali bin Abi Thalib hal: 14-15). Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non muslim juga merasakan keadilan tersebut. Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang.
Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. “Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”. Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu. Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai.
Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya. Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282).
C. Sifat Itsar (mendahulukan orang lain) dan Kedermawanan Utsman Ibnu Affan
Utsman adalah bagian dari sahabat terbaik Nabi S.A.W, ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut kepada sesama mukmin. Hatinya sering tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia selalu berusaha membantu kesulitan rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka, rajin menyambung silaturrahim, memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah dan berusaha menghindarkan kesulitan mereka. Ia dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan kesalahan orang lain. Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah SAW. Ia mencontoh perkataan, perbuatan dan perilaku Nabi SAW.
Ada banyak peristiwa yang menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mendahulukan sikap santun dan maaf, murah hati dan tidak bergantung pada dunia. Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia sehingga ia tidak menjadi orang yang egois yang mengutamakan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.
Materi dunia yang melimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman ibn Affan untuk mencintai dunia. Ia selalu menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan yang paling tinggi. Hatinya tak pernah terikat kepada dunia sehingga ia dapat setiap saat melepaskan semua miliknya demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, ia termasuk orang yang paling berhak atas apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an: “dan barang siapa terjaga dari sikap kikir, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. AtTaghabun).
Tentu saja ia berhak mendapatkan balasan yang mulia itu karena ia terbiasa membebaskan seorang budak setiap Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul Utsman sekeluarnya dari masjid. Thalhah berkata, “Aku sudah punya lima puluh ribu dirham yang kupinjam darimu. Aku akan mengutus seseorang untuk menyerahkannya kepadamu.”Utsman menjawab, “Biarlah semua itu kuberikan kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga dikisahkan bahwa sebelum Nabi datang ke Madinah, di sana ada sumur yang disebut sumur Rawmah. Air sumur itu sangat tawar. Setiap orang yang ingin minum dari sumur itu harus membelinya. Sumur itu milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam semakin berat dihimpit kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran, “Barang siapa membeli sumur Rawmah, baginya surga.”
Mendengar pernyataan itu, Utsman bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri membeli sumur itu seharga 35.000 dirham. Ia menggratiskan siapa saja untuk memanfaatkan air sumur itu, baik yang kaya, miskin, atau pun para musafir. Inilah
Pada masa pemerintahan Al-Faruq, kaum muslim dilanda paceklik. Karena beratnya kehidupan yang harus dihadapi, tahun itu disebut tahun kelabu. Ketika nestapa semakin memuncak, orang-orang menghadap Umar r.a. dan berkata, “Wahai Khalifah, langit tak menurunkan hujan dan enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa. apa yang harus kita lakukan?”Umar memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia berkata, “Sabar dan bertahanlah. Aku berharap Allah memberikan jalan keluar dari keadaan ini sebelum malam tiba.”
Sore harinya terdengar kabar bahwa kafilah dagang Utsman ibn Affan telah kembali dari Syria dan akan tiba di Madinah esok pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut kafilah itu. Seribu unta membawa gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh rombongan kafilah dan kendaraannya berkumpul di depan rumah Utsman ibn Affan r.a. Ketika para buruh sibuk menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas menemui Utsman. Mereka berkata, “Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai Abu Amr.”
Utsman menjawab, “Dengan senang hati dan aku merasa terhormat. Tetapi, berapa kalian akan memberiku keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham yang engkau beli, kami memberimu dua dirham.”
“Aku bisa mendapat lebih dari itu.jawab Utsman”. Lalu mereka kembali menaikkan harga. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapat lebih dari yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan harga lagi. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu.”Mereka berkata, “Wahai Abu Amr, Siapakah yang berani memberimu keuntungan lebih dari tawaran kami?.”
Utsman menjawab: “Allah SWT. memberiku keuntungan sepuluh kali lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku bersaksi kepada Allah, semua yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir miskin di kalangan umat Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun. Kulakukan semua itu semata-mata mengharapkan pahala dan keridhoan Allah SWT”. Inilah karakter Usman bin Affan yang termaktu dalam firman Allah:
ٌ ةَ اص َصَ خ ْمِهِ ب َ ان َ ك ْوَلَ و ْمِهِسُفْنَ ى أ َلَ ع َ ون ُرِثْؤُيَو )9( َ ون ُحِلْفُمْ م ال ُ ه َكِئَول ُأَ ف ِهِسْفَ ن َّحُ ش َ وق ُ ي ْنَمَو
" Dan mereka mendahulukan kepentingan orang lain (rakyat) di atas kepentingan mereka sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari kekikiran dirinya, maka dialah orang-orang yang beruntung (Q.S AlHasyr: 9)
Itu gambaran keimanan dan kedermawanan Utsman ibn Affan. Sebanyak apapun harta dunia yang dimiliki, semuanya tidak berarti di hatinya. Bagi para sahabat Nabi, dunia ini tidak artinya. Kendati hidup bergelimang harta, ia tetap mengutamakan akhirat.Hasan Al-Bashri bercerita,
“Aku pernah melihat Khalifah Utsman ibn Affan berbicara di masjid. Ketika ia berdiri, bekas-bekas tanah terlihat di punggungnya. Seseorang berkata, ‘Inilah Amirul Mukminin…Inilah Amirul Mukminin…..’ Sungguh mengagumkan, ia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain, sedangkan ia hanya makan cuka dan minyak samin. Ia membiarkan lambungnya bekerja keras.”
D. Kecerdasan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.
Beliau adalah salah satu –selain Abu Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana sabada rasulullah SAW. lulusan terbaik dari madrasah Nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah SAW. Diantara keistimewaan belaiu adalah Allah menganugerahkan kecerdasan di atas rata-rata,sampai-sampai rasulullah bersabda “aku adalah kotanya ilmu,sedangkam Ali adalah pintunya”.
Di antara kisahnya adalah perselisihan beberapa sahabat tentang ilmu berhitung. Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untukmakan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti. Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka. “Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan.“Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti.“Aku setuju,”jawab sahabatnya.“Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu adalah tiga dirham.“Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.”“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih banyak” .
Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat.Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!”“Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu.“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?”“Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar? ,kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.”“Benar.”jawab keduanya.“Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.”‘Benar”. “Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.”. “Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. “Setuju, “jawab keduanya serempak.“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam Ali.“Benar, ”jawab keduanya. “Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”“Benar.”“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.“si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut.
Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?” Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu”“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya. “Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah kecerdasan Ali,meski demikian, beliau adalah orang yang mempunyai rasa tawadlu’ yang tinggi. Beliau pernah berucap : اًفْرَ ح ْوَلَ و ْيِنَمَّلَ ع ْنَ م ُمِ اد َ خَ ناَ أ yang artinya: “aku (berkenan) menjadi pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu huruf”.
Rangkuman
1. KETELADANAN DARI UTSMAN BIN AFFAN :
- Usman bin Affan dilahirkan di Tha’if pada thn 576 H.
- Usman bin Affan berasal dari keturunan yang kaya. Sejak kecil dia sudah mulai dilatih untuk berniaga.
- Setelah masuk Islam, Usman adalah sahabat yang dekat kepada Nabi Muhammad SAW. Dia selalu berjuang menegakkan ajaran Islam dengan mendermakan kekayaan yang ia miliki.
- Keteladanan Usman bin Affan, yaitu : 1). Bersifat dermawan, 2). Bersifat adil dan, 3). Bersifat sederhana.
- Usman berbaiat menjadi khalifah yang ke-3 pada tahun 23 H / 644 M, dalam usia 70 tahun. f. Jasa-jasa Usman bin Affan selama menjadi khalifah :
- 1) Memperluas daerah Islam sampai kedaerah Afrika, Asia dan Eropa,
- 2) Merenovasi masjid Nabawi,
- 3) Membangun gedung pengadilan,
- 4) Membukukan Al-Qur’an. g. Usman terbunuh pada tahun 35 H dalam usia 82 tahun. h. Usman bin Affan memerintah selama 12 tahun.
2. KETELADANAN DARI ALI BIN ABI THALIB :
- Ali dilahirkan di Mekah pada tahun 603 M. Dia adalah putra dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah binti As’ad.
- Sejak usia 6 tahun, Ali diasuh oleh Nabi Muhammad SAW. Dan menyatakan keIslaman dalam usia 8 tahun.
- Ali bin Abi Thalib dinikahkan dengan putri Rasulullah yaitu Fatimah Azzahra. d. Keteladanan kepribadian Ali bin Ali Thalib, yaitu: 1). Cerdas dan pandai, 2). Sabar
- Ali dibaiat menjadi khalifah pada tanggal 25 Dzulhijjah 35 H.
- Jasa-jasa khalifah Ali bin Ali Thalib antara lain: 1). Menyempurnakan bahasa arab, 2). Membangun pusat kota.
- Perang Siffin adalah perang antara Ali dan Muawiyyah yang diakhiri dengan tahkim/arbitrase dan umat Islam pecah menjadi 3 golongan yaitu kelompok Syiah, Khawarij, dan Muawiyah.
- Ali bin Abi Thalib terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljam ketika shalat Subuh pada tahun 40 H, Dalam usia 58 tahun
Daftar Pustaka
- Abdul Majid Al-Zandaniy, dkk, 1991. Al-Iman, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
- Abuddin Nata, 2009. Akhlaq Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pres,.
- Ahmad Adib Al-Arif, 2009. Aqidah Akhlaq, kelas IX untuk MTs, Semarang Aneka Ilmu, Ahmad
- Amin, 1983, Etika ( Ilmu Akhlaq ), Terj.Farid Ma’ruf, Jakarta, Bulan Bintang,
- Ahmad Mijab Mahali, 2002. Membangun Pribadi Muslaim, Menara Kudus, Jogyakarta,
- Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, 1986.Tanbihul Ghafilin, alih bahasa Abu Imam Taqyuddin, Pembangunan Jiwa dan Moral Umat, Surabaya, Mutiara Ilmu,
- Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993. Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
- Fachruddin, H, HS, 1992. Ensiklopedi Al-Qur’an, Jakarta, PT. Renika Cipta,
- Ma’mur Daud, 1993. Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta, Wijaya,
- Masan, AF, 2009. Pendidkan Agama Islam, Aqidah Akhlaq, untuk MTs, Semarang, Karya Toha,
- Muhammad al-Ghazli, 1986. Akhlaq Seorang Muslim, Semarang,.Wicaksana,
- Muslim Nasution, 2003. Ensiklopedi Aqidah Islam, Jakarta, Kencana,
- Mustaghfirin, dkk. 2004. Aqidah Islam, Semarang, Aneka Ilmu, Mustahdi dan Sumiyati, 2013. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, Jakarta, Politeknik Negeri Media Kreatif,
- Sayid Sabiq, 1990..Aqidah Islam, Bandung, Dipanegoro,
- Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 1994. Aqidah Seorang Muslim, CV. Pustaka Mantiq,
- Teguh Prawiro, 2011. Aqidah Akhlaq, kelas IX untuk MTs, Jakarta, Yudistira,