Makalah Kesusastraan Indonesia dan Studi Sastra Indonesia Lengkap
Minggu, 12 April 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. SASTRA DAN STUDI SASTRA
Berbicara studi sastra adalah berbicara keilmuan sastra. Meskipun banyak ahli mengakui adanya keilmuan sastra, namun ada pula yang meragukan eksistensinya. Mereka berpendapat bahwa sastra sama sekali tidak bisa dipeajari. Sastra hanya bisa dinikmati, dihargai, selain mengumpulkan informasi tentang sastra tersebut (Welek & Warren, 1963: 15).
Pernyataan di muka tidak hanya khusus pada sastra tetapi juga meliputi seluruh ilmu humaniora. Yang diragukan adalah metode keilmuan yang diambil sebagai dasar keilmuan. Metode tersebut diadaptasi dari metode ilmu alam atau sains yang karena objeknya berbeda menyebabkan hasil penelitian sastra tersebut tidak memuaskan. Hal ini ditekankan oleh Windelband, seorang ahli sejarah filsafat. Ia menolak pernyataan bahwa studi sejarah, sebagai salah satu ilmu humaniora, harus meniru metode sains. Ia menyatakan bahwa ketika sains berusaha mencari hukum general tentang sesuatu, sejarah berusaha menangkap fakta yang unik dan menghadirkannya kembali. Dilthey membandingkan studi sains dan sejarah. Ia membandingkan keduanya dengan istilah penjelasan (explanation) dan pemahaman (comprehension). Jika saintis mencoba meneliti sebabakibatnya, sejarawan mencoba memaknainya (Wellek & Warren, 1963: 17). Bagaimana dengan sejarah sastra?
B. SEJARAH SASTRA DAN STUDI SASTRA
Studi sastra meliputi tiga hal, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra (Wellek & Warren, 1963: 38). Teori sastra bekerja dalam bidang teori yang mengakumulasi konvensi karya-karya sastra, misalnya penyelidikan hal yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakikat sastra, dasar-dasar sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori-teori dalam bidang sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra (genre), teori penilaian, dan sebagainya. Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baikburuknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya. Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir, misalnya sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya (Pradopo, 1995: 9).
Ketiga studi sastra di muka memiliki kaitan satu sama lain. Satu studi sastra mendukung studi sastra yang lain. Teori sastra memerlukan sejarah sastra karena sebuah teori terus berkembang. Perkembangan ini dihadirkan oleh sejarah sastra yang secara diakronis membandingkan periode-periode dalam kesusastraan sebuah bangsa. Perkembangan tersebut kemudian diformulasikan dalam sebuah teori yang membedakan dengan konvensi sastra sebelumnya. Hal ini pernah terjadi pada puisi Indonesia periode 20 – 40-an yang beranjak semakin jauh dari konvensi puisi Indonesia lama. Sebelum tahun 40-an puisi adalah bentuk sastra yang terikat, yaitu terikat pada persajakan akhir yang sama seperti pada pantun dan syair, terikat pada jumlah kata atau suku kata pada tiap baris, dan terikat pada jumlah baris dalam tiap bait. Sejak tahun 40-an konvensi tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pada periode tersebut yang paling dipentingkan adalah ungkapan jiwa dan secara struktur pemadatan bentuk ungkapan. Sejarah sastra memerlukan pemahaman teori sastra. Seseorang hampir tidak mungkin membahas periode sastra tertentu tanpa mengetahui konvensi/teori sastra sebelumnya. Dengan pengetahuan tersebut bisa ditentukan apakah persamaan dan perbedaan antar keduanya. Jika tidak terdapat perbedaan signifikan, periode tersebut akan dimasukkan ke dalam angkatan sebelumnya.
C. DEFINISI SEJARAH SASTRA
Untuk memperjelas istilah, sejarah sastra perlu dibatasi untuk membedakan dengan studi yang lain. Secara umum sejarah berarti peristiwa dan kejadian yang benarbenar terjadi pada masa lampau (KBBI, 1999: 891). Peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi itu adalah fakta. Dengan kata lain sejarah sastra mengkaji data berupa fakta-fakta sastra dengan dua media yaitu berupa fakta tertulis dan fakta lisan. Fakta tertulis berasal dari mediamedia tulis seperti surat kabar dan buku-buku sastra sedangkan fakta-fakta lisan berasal dari pelaku atau sumber yang dekat dengan pelaku sastra. Sastra adalah karya estetis imajinatif yang sulit untuk didefinisikan secara penuh.
Hal ini mengingat perkembangan teori sastra mengikuti perkembangan kreasi sastra yang konvensinya selalu berkembang dan berubah. Akan tetapi, jika dijabarkan karya sastra meliputi beberapa hal khusus yang membedakan dari bidang lain. Sastra adalah ekspresi estetis-imajinatif dari seorang individu yang dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau tanggapan terhadap lingkungannya. Dari dua komponen definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah sastra adalah sejarah perkembangan sastra yang terdiri atas rangkaian peristiwa dalam periode-periode perkembangan sastra suatu bangsa mulai lahir sampai perkembangan terakhir.
Berdasarkan pengertian tersebut, sejarah sastra Indonesia, secara khusus, adalah studi sastra yang mengungkap rangkaian kejadian-kejadian dalam periode-periode perkembangan kesusastraan Indonesia mulai kelahiran sampai perkembangan terakhir.
Selanjutnya, dalam pembabakan kesusastraan Indonesia terdapat dua hal yang terkadang rancu dan membingungkan, yaitu pembangian berdasarkan lahirnya angkatan sastra dan periodisasi dalam sastra. Pembagian yang lazim dilakukan adalah dengan membagi babak-babak dalam kesusastraan Indonesia berdasarkan angkatanangkatan yang terfokus pada pengarang tertentu yang memfokuskan pada pengarang-pengaran yang berperan pada angkatan tersebut. Masalah ini akan dibahas dalam bab dua.
D. PENDEKATAN-PENDEKATAN SEJARAH SASTRA
1.Pendekatan Tradisional
Sejarah sastra dikembangkan terutama pada abad kesembilan belas. Pendekatan yang digunakan beragam. Berikut beberapa pendekatan yang utama.
a. Pendekatan Jenis sastra
Pendekatan ini mempertimbangkan hal-hal berikut.
(resepsi) sastra oleh masyarakat pembaca dari masa ke masa menentukan dinamikan sejarah sastra (Teeuw, 1984: 311-329).
A. PERIODISASI ATAU ANGKATAN?
Masalah periodisasi dan sistem angkatan dalam kesusastraan Indonesia adalah masalah lama yang menjadi pembahasan ilmuan-ilmuan sastra. Hal termudah yang bisa dilakukan adalah dengan menelusuri kedua kata itu karena masalah ini timbul karena pemahaman terhadap istilah yang digunakan. Penelusuran bisa dilakukan dengan mengakomodasi berbagai pendapat tentang kedua istilah tersebut kemudian dibandingkan dan cari jalan tengah yang dapat mengakumulasi semua pengertian. Periodisasi berasal dari kata periode. Periode berarti kurun waktu atau lingkaran waktu (masa) (KBI, 2008:).
Lebih detil lagi dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary dinyatakan bahwa periode adalah porsi waktu dalam hidup seseorang, bangsa, peradaban, dsb. Wellek (dalam Pradopo, 2007: 2) menyatakan bahwa periode – dalam kesusastraan – adalah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma-norma sastra, standarstandar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut. Angkatan, di sisi lain, sering disamakan dengan generasi. Kerancuan dengan istilah di atas terjadi karena sebagian ahli sejarah sastra menyamakan dengan pembabakan waktu dalam sejarah sastra (Rosidi, 1986: 194). Untuk memperjelas, mari kita tinjau istilah tersebut dalam berbagai pengertian dari berbagai sumber. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 44), angkatan diartikan sebagai kelompok orang yang lahir sezaman (sepaham dsb). Dari pembahasan kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa periode memiliki pengertian lebih luas.
Periode meliputi pula angkatan di dalamnya. Periode lebih menekankan rentang perkembangan sebuah karya sastra pada masa tertentu dari berbagai sudut pandang: pengaruh politik, pengaruh perubahan paradigma sastrawan, perkembangan sastra dsb. Angkatan lebih menekankan pada peran pengarang atau sastrawan dalam mengembankan kesusastraan sebagai tanggapan terhadap angkatan sebelumnya.
Dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian bergantung pembahasan, misalnya Pujangga Baru disebut angkatan sedangkan kesusastraan zaman Jepang yang merupakan perkembangan berikutnya disebut periode atau zaman Jepang karena dalam masa yang singkat ini ada ciri khusus yang tidak dimiliki oleh Pujangga Baru yang merupakan periode sebelumnya dan Angkatan 45 yang merupakan angkatan sesudahnya meskipun dalam periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan untuk melahirkan sebuah angkatan.
B. DASAR-DASAR YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PERIODISASI
Dalam penentuan lahirnya sebuah periode baru, penulis sejarah sastra memiliki pendapat yang beragam. Pendapat tersebut berdasarkan cetusan mereka terhadap sebuah generasi baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari buku-buku tersebut disusun dasar-dasar yang digunakan dalam menentukan periode-periode kesastraan Indonesia. Untuk memudahkan pembahasan, aspek tersebut disesuaikan dengan empat orientasi kritik sastra M.H.
Abrams dalam The Mirror and the Lamp, yaitu mimetik, ekspresif, pregmatik, dan objektif. Orientasi ini disesuaikan menjadi aspek isi, kepengarangan, fungsi sosial karya dan unsur pembangun karya.
Periodisasi dalam tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu sastra lama, sastra peralihan, dan sastra baru. Periodisasi ini digunakan sebagian besar penulis sejarah sastra yang ada kecuali yang tidak mengakui sastra sebelum kemerdekaan. Meskipun menggunakan periodisasi yang sama kategori sastra yang dimasukkan dalam periodeperiode tersebut berbeda. Akan tetapi berikut akan dihadirkan periodisasi-periodisasi yang dilakukan oleh penulis-penulis sejarah sastra.
Sastra lama menurut para ahli meliputi kesusastraan zaman purba, kesusastraan zaman Hindu, dan kesusastraan zaman Islam. Meskipun periodisasi ini diakui oleh hampir semua penulis sejarah sastra Indonesia, namun rentang tahun yang digunakan berbeda-beda. Nugroho Notosusanto membagi dua periode, yaitu kesusastraan Melayu lama dan kesusastraan Melayu modern. Rentang waktu sastra Melayu lama sejak masa dahulu yang tidak terbatas sampai periode 1920-an. Rentang waktu ini juga sama dengan yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi, dan H.B Jassin. Penulis lain menyelipkan, di antara kesusastraan Melayu lama dan kesusastraan Melayu baru, kesusastraan peralihan. Hal inilah yang membedakan rentang waktu tersebut. Sebagian penulis memasukkan masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ke dalam satra lama, sastra peralihan, dan ada yang memasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia baru.
a. Kesusastraan Zaman Purba/Kuno
Kesusastraan pada periode ini adalah kesusastraan yang mencerminkan zaman sebelum adanya pengaruh india, yaitu kesusastraan berupa doa, mantra, silsilah, adat-istiadat, dongeng, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya. Kesusastraan zaman ini merupakan kesusastraan yang berdasarkan medianya merupakan sastra lisan.
b. Kesusastraan Zaman Hindu
Pada periode ini masuk cerita-cerita dari india yang merupakan bagian dari ajaran agama Hindu. J.S. Badudu memasukkan zaman Hindu menjadi satu periode dengan kesusastraan zaman Islam, yaitu zaman HinduIslam. Hal senada juga terdapat dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik karya Liau Yock Fang. Dalam buku tersebut kesusastraan zaman purba disebut kesusastraan rakyat. Kesusastraan Hindu tidak dimasukkan dalam pembahasan hanya kesusastraan zaman peralihan Hindu-Islam dan kesusastraan zaman Islam. Dalam buku ini hanya kelengkapan pembahasan yang menjadi titik tumpu mengingat buku ini ditujukan pada pelajar pemula.
c. Kesusastraan Zaman Islam
Periode ini berlangsung setelah masuknya Islam di Indonesia. Ada ahli yang menggantikan kata Islam dengan Arab. Penamaan ini kurang tepat mengingat dalam sastra Indonesia tidak ada terlalu banyak pengaruh sastra Arab. Pengaruh tersebut terjadi dalam konteks ke-Islaman yang ditunjukkan dengan perubahan beberapa naskah Hindu yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Syair yang merupakan sastra Arab asli masuk bukan semata-mata karena sastra tetapi menjadi kebiasaan ulama-ulama Islam untuk menulis syair dalam pelajaran agama, ilmu bahasa, dan sebagainya.
2. Kesusastraan Peralihan
Kesusastraan peralihan ini terjadi pada zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (lahir pada 1796 dan meninggal pada 1854). Pada masa ini sudah ada pengaruh barat terhadap kesusastraan Indonesia (Melayu). Sabaruddin Ahmad memasukkan periode ini kedalam kesusastraan baru. Kesusastraan zaman ini juga disebut dengan kesusastraan zaman Abdullah. Penamanaan ini dengan mempertimbangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, perubahan corak kesusastraan itu dipelopori oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Kedua, kesusastraan pada zaman itu tidak berkembang dan hanya merupakan karya Abdullah sendiri karena tanpa pengikut.
3. Kesusastraan Baru
Periode ini dimulai sejak berdirinya Balai Pustaka sampai saat ini. Periode-periode tersebut seperti yang tersusun sebagai berikut.
A. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PERIODISASI SASTRA KLASIK
Dalam periodisasi sastra klasik, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Berikut akan disajikan beberapa pendapat penulis-penulis buku sejarah sastra.
Pembagian di atas menunjukkan perbedaan para ahli dalam menetapkan periode-periode dalam kesusastraan Indonesia klasik. Dalam buku ini pendapat yang digunakan adalah pendapat Liau Yock Fang. Pendapat ini lebih konkret menampilkan kesusastraan Indonesia klasik karena didasarkan pada bukti-bukti sejarah berupa naskah-naskah klasik yang masih bisa ditelusuri keberadaannya. Pembagian ini juga memisahkan kesusastraan masa peralihan dalam bab tersendiri.
B. KESUSASTRAAN RAKYAT
Sastra klasik periode pertama ini sering disebut kesusastraan zaman animisme-dinamisme. Penamaan ini didasarkan pada kepercayaan yang dianut masyarakat pada waktu itu. Mudah dipahami pula jika melihat zaman berikutnya, yaitu zaman Hindu dan Islam yang dinamakan berdasarkan kepercayaan yang dianut pada masa berikutnya. Penamaan ini kurang tepat jika ditinjau dari isi kesusastraan pada zaman ini tidak semua mengandung nilai animisme-dinamisme. Hal ini berbeda dengan zaman sesudahnya yang mengandung nilai-nilai ajaran Hindu dan Islam. Dengan pertimbangan ini, kesusastraan zaman awal ini diberi nama kesusastraan rakyat. Kesusastraan rakyat adalah kesusastraan yang berkembang di kalangan rakyat yang kebanyakan tidak bisa membaca. Kesusastraan rakyat, dengan demikian, diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, misalnya oleh ibu terhadap anaknya, tukang cerita kepada pendudukpenduduk kampung, dsb. Kesusastraan rakyat ini berbeda dengan kesusastraan istana. Jika kesusastraan rakyat diturunkan dengan media lisan, kesusastraan istana ditulis, disimpan, dan bisa diturunkan dengan membaca. Kesusastraan rakyat ini termasuk dalam kajian yang lebih luas yang disebut folklor. Dalam folklor, ada tiga bagian besar yang menjadi kajiannya, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Yang termasuk dalam kajian ini hanya folklor lisan (Danandjaya, 1991). Dan dalam folklor lisan ini hanya sajak atau puisi rakyat dan prosa rakyat yang dimasukkan dalam kesusastraan lisan.
1. Sajak atau Puisi Rakyat
Sajak atau puisi rakyat biasanya berupa bentuk terikat. Bentuknya antara lain ungkapan tradisional (peribahasa), mantra, dan pantun. Ketiga bentuk puisi rakyat ini dibahas sebagai berikut.
Pantun adalah salah satu bentuk puisi terikat asli Indonesia. Seperti kebanyakan sastra lama, pantun juga merupakan seni kolektif masyarakat Indonesia. Hampir semua daerah di Indonesia mengenal pantun dengan sebutan yang berbeda-beda sesuai bahasa daerahnya. Di Madura, misalnya, pantun disebut sendèlan [səndεlan], di Jawa ada yang disebut pari’an, dsb. Karena milik bersama, pantun dalam peredarannya bersifat anonim atau tidak diketahui pengarangnya. Akan tetapi, meskipun tidak diketahui pengarangnya, pantun tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada otoritas tertentu yang menguasai pembuatan dan memiliki posisi dalam adat. Dalam kesusastraan Indonesia baru, pantun masih ditemukan dalam periode balai pustaka atau yang lebih terkenal dengan Angkatan Balai Pustaka.
Pada periode ini pantun sering ditemukan pada karya berbentuk prosa, misalnya pada Sitti Nurbaya karya Marah Rusli yang cenderung dipaksakan. Dalam roman ini, pantun menjadi ucapan-ucapan mesra dalam dialog antara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri.
Seperti halnya sastra lama yang lain, pantun juga sudah mulai ditinggalkan. Perkembangan pantun mandeg karena sudah tidak diminati lagi. Bahasa pantun seolah-oleh menjadi bahasa-bahasa klise yang sudah tidak bernyawa lagi. Ironisnya, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi warisan kebudayaan ini. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang dengan tokoh Jarjit Singh dalam film kartun anak-anak Upin dan Ipin telah mengenalkan pantun pada usia dini. Bagaimana dengan Indonesia?
1) Definisi Pantun
Pantun berarti misal, umpama, ibarat, dan tamsil. Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia yang terdiri atas empat baris. Dua baris pertama adalah sampiran dan dua bait terakhir adalah isi. Keempat baris tersebut dihubungkan dengan persamaan bunyi suku kata terakhir yang disebut rima atau sajak.
2) Syarat-Syarat Pantun
Pantun dengan berbagai jenisnya harus memiliki syarat-syarat berikut.
Terdiri atas sejumlah baris yang jumlahnya genap, yaitu 2 (karmina), 4 (pantun), dan 6 atau lebih (talibun).
Dalam satu baris biasanya terdiri atas 4 sampai 6 kata atau 8 sampai 12 suku kata.
Separuh baris pertama disebut sampiran; separuh kedua disebut isi.
Tiap-tiap baris dihubungkan dengan persamaan bunyi suku terakhir dan kemiripan bunyi pada suku kedua sebelum akhir yang disebut rima atau sajak.
Dalam hal sampiran dan isi, para ahli berbeda pendapat mengenai kaitan antara keduanya. William Marsden dan John Crawfurd berpendapat bahwa kaitan antara sampiran dan isi merupakan kaitan bunyi dan arti. Mereka berpendapat bahwa sampiran adalah kiasan dari isi.
Senada dengan keduanya adalah Ajip Rosidi yang menyatakan bahwa keadaan alam dalam sampiran merupakan gambaran dari isi dalam baris-baris berikutnya. Tokoh lain, seperti Abbe P. Favre dan Dr. Pynappel, A. Van Ophuysen, dan Van der Tuuk berpendapat bahwa kebanyakan dari sampiran memiliki hubungan dengan isi, bahkan sampiran sering merupakan peribahasa. Sudah gaharu cendana pula Sampiran tersebut sudah berdiri sendiri menjadi kias dari larik/baris berikutnya, yaitu “Sudah tahu bertanya pula”. Baris pertama tersebut merupakan peribahasa yang artinya adalah baris kedua. Persajakan sebuah pantun, seperti persajakan sastra lama lainnya, terdiri atas sajak akhir (rima), sajak tengah, dan sajak depan. Di antara ketiganya, sajak akhir merupakan inti dari persajakan. Sajak tengah dan sajak depan merupakan penyempurna sajak akhir.
2. Prosa Rakyat
Prosa-prosa Indonesia tidak hanya mengadopsi gaya prosa Barat. Sebelumnya telah ada prosa asli Indonesia sebelum ada pengaruh dari Eropa. Untuk mempermudah, prosa Indonesia, secara historis, dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu prosa Indonesia lama dan prosa Indonesia baru. Prosa barau akandijelaskan pada kesempatan lain. Rincian pembagian tersebut tersusun sebagai berikut
1. Prosa Indonesia Lama
a. Prosa Asli
1. Prosa Pengaruh Islam Danandjaya (1991) menggunakan pembagian yang berbeda dalam prosa lama Indonesia. Pembagian ini lebih mudah dimengerti dan terstruktur dengan baik berdasarkan kategori. Prosa lama Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap pernah terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Mite Indonesia biasanya bercerita tentang terjadinya alam semesta (cosmogony), susunan atau dunia para dewa (pantheon), manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero), terjadinya makanan pokok untuk pertama kalinya, dan sebagainya. Seperti halnya dengan mite, legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita. Perbedaan dengan mite adalah legenda bersifat sekuler (keduniawian) terjadi pada waktu yang tidak begitu lampau dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang.
Legenda, seperti juga mite, memiliki jenis yang beragam. Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991: 65) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok. Keempat kelompok itu adalah legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat. Legenda keagamaan adalah legenda yang bercerita tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama di luar kitab suci. Termasuk dalam legenda jenis ini adalah legenda orang(-orang) suci. Legenda jenis ini, misalnya, kisah Wali Sanga di Jawa. Selain tentang orang-orang suci, terdapat pula legenda-legenda tentang kemu’jizatan, kekeramatan, wahyu, permintaan melalui doa, ikrar yang terkabul dan sebagainya.
Selain itu ada “kitab suci rakyat” yang termasuk dalam legenda keagamaan. Legenda semacam ini biasanya berbentuk cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. C.W. von Sydow menamakan legenda ini memorat yang merupakan pengalaman pribadi seseorang. Legenda ini bercerita tentang makhluk halus, desa gaib, hantu, dsb. Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi.
Cerita Panji adalah salah satu jenis legenda ini yang berasal dari Jawa. Di Madura ada Bangsacara-Ragapadmi, Joko Tole, Ke‟ Lesap, dan sebagainya. Legenda jenis ini memiliki cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, bentuk topografi, dan sebagainya. Legenda yang termasuk nama tempat, misalnya, nama kota Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari nama Arya Kemuning, yang lahir dari istri Sunan Gunung Jati yang dari Cina, legenda nama desa Trunyan, Bali, dan sebagainya. Legenda topografi terdapat pada legenda Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Batok, dan sebaginya. Jika mite dan legenda merupakan cerita yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita, dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi.
Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan. Namun, selain sebagai hiburan, banyak dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi pelajaran hidup, atau bahkan sindiran. Anti Aarne dan Stith Thomson (1964: 19-20, dalam Danandjaya, 1991: 86) membagi dongeng dalam empat golongan besar, yaitu dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng berumus.
Dongeng binatang disebut juga fabel. Dongeng ini ditokohi oleh binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan, dan serangga. Binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Tokoh fabel terpenting di Indonesia adalah kancil dan kera. Kedua ini adalah hewan yang dianggap cerdik dan licik. Kedua hewan tersebut biasanya melawan hewan yang kuat tetapi bodoh. Di Indonesia hewan ini diwakili dengan sosok harimau dan buaya. Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling populer bertipe Cinderella.
Tipe ini bersifat universal dan tersebar di seluruh dunia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada Ande-Ande Lumut, di Jakarta ada Bawang Putih dan Bawang Merah, dan di Bali ada I Kesuna lan I Bawang. Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati sehingga menyebabkan tawa baik bagi yang mendengar maupun bagi yang menceritakan. Perbedaan antara lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang atau beberapa orang tokoh, lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku, golongan, agama, dan ras. Anekdot dapat dianggap sebagai bagian dari “riwayat hidup” fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai “sifat” atau “tabiat” fiktif anggota suatu kolektif tertentu. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya mengalami pengulangan.
Dongeng jenis ini dibagi menjadi tiga subtipe, yaitu dongeng kumulatif (cumulative tale), dongeng mempermainkan (catch tale), dan dongeng tanpa akhir (endless tale). Berikut adalah contoh contoh dongeng berumus. Alkisah pada suatu hari di suatu lorong sepi terlihat seekor nyonya lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Si tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Si kucing lari terbirit-birit ketakutan karen diburu oleh seekor anjing. Si anjing lari terbirit-birit karena diburu seorang Batak. Si orang Batak lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang polisi. Dan si polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB (operasi tertib) [kumulative tales]
C. KESUSASTRAAN ZAMAN HINDU
Sastra tertulis mulai dikenal pada kira-kira tahun 500an. Namun, tidak banyak masyarakat yang mengenal tulisan pada waktu itu. Hanya golongan tertentu yang mengenal tulisan, seperti raja-raja, pendeta, dan sejumlah kecil orang biasa (Wirjosoedarmo, 1990: 34). Meskipun ada pengaruh Hindu dalam sastra Melayu lama tetapi sastra Hindu tersebut ditulis pada saat setelah agama Islam masuk ke Indonesia (1990: 35). Ini terbukti dalam sastra melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu atau jawi. Karya-karya masa ini disajikan sebagai berikut. 1. Mahabarata 2. Ramayana 3. Pancatantra
D. KESUSASTRAAN ZAMAN ISLAM
Dalam penyebutan sering disebut sastra Islam. Sastra Islam sebagai istilah bermakna rancu sebab mungkin muncul pertanyaan adakah bagian sastra dalam Islam? Jawabannya tentu saja tidak. Wirjosoedarmo menamakan sastra masa Islam yaitu masa ketika Islam menjadi agama negara. Dengan sedikit berbeda, Liau Yock Fang (1991) menamakan kesusastraan zaman Islam. Dua nama ini bisa dianggap sama, yaitu sastra Indonesia (Melayu) yang dipengaruhi sastra yang dibawa oleh penyebar agama Islam. Namun, kembali pada hakikat sistemnya sastra masa ini bisa dikatakan sastra yang dipengaruhi sastra arab, misalnya syair melayu. Pengaruh Islam bisa ditemukan dalam isi yang diceritakan. Seperti juga sastra zaman hindu, hanya isinya yang dipengaruhi agama Hindu sedang bentuknya diadaptasi dari sastra India, misalnya gurindam. Berdasarkan isinya inilah sastra pada masa kerajaan Islam disebut kesusastraan zaman Islam.
1. Jenis-Jenis Kesusastraan
Zaman Islam Jenis-jenis sastra bisa ditinjau dari beberapa segi. Berdasarkan isi, Liau Yock Fang (1991) membagi kesusastraan zaman islam menjadi lima yaitu cerita alQuran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi, cerita pahlawan Islam, dan sastra kitab. Wirjosoedarmo (1990: 60168) menyajikan pembagian yang berbeda.
Berikut pembagiannya.
a. Buku-buku yang berhubungan erat dengan ajaran Islam.
c. Buku-buku yang bersifat pelipur lara d. Buku-buku yang bersifat simbolis atau didaktis
2. Tokoh-Tokoh Kesusastraan Zaman Islam Berikut tokoh-tokoh yang termasuk dalam kesusasraan zaman Islam.
Kesusastraan pada masa ini disebut kesusastraan peralihan karena adanya gejala-gejala masa peralihan, antara sastra lama dan sastra baru yang mendapat pengaruh dari Barat. Kesusastraan zaman ini dipelopori oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Kesusastraan zaman ini tidak berkembang karena Abdullah tidak memiliki seorang pun pengikut sehingga dapat dikatakan bahwa kesusastraan zaman ini adalah kesusastraan Abdullah semata. Perbedaan kesusastraan zaman ini dengan zaman sebelumnya dapat diktegorikan berdasarkan isi dan bahasanya. B. ISI Perbandingan antara sastra lama dan sastra peralihan disajikan dalam tabel berikut.
Lama
Dalam segi bahasa Abdullah berusaha mengurangi penggunaan-penggunaan klise dan kata-kata
Arab yang terlalu banyak digunakan pada waktu itu. Namun, pada persambungan paragraph masih ditemui kata-kata seperti: maka, syahdan, hatta, arkian, kalakian, sebermula, dan sebagainya. Dari segi isi dan bahasa Abdullah telah meninggalkan sastra lama. Hal ini terjadi pada genre prosa. Dalam puisi Abdullah masih menggunakan pantun dan syair yang merupakan karya sastra lama.
D. RIWAYAT HIDUP ABDULLAH DAN KARYANYA
Beliau dilahirkan di Malaka pada tahun 1796 dan meninggal di Jedah pada tahun 1854. Moyang laki-lakinya bernama syaikh Abdulkadir berasal dari Yaman dan moyang perempuannya berasal dari Nagore, India. Kakek nenek Abdullah menjadi guru agama di Malaka. Ayah beliau selain menjadi guru agama berprofesi sebagai pedagang. Abdullah, dilihat dari asal-usul keturunan campuran yang beragam. Karena itu ia disebut peranakan Melayu. Ayahnya Abdullah mendapatkan pendidikan keras dalam belajar bahasa Arab. Selain itu darah keturunannya membuatnya mampu berbahasa dua lagi selain bahasa Arab, yaitu Melayu dan Keling. Karena pekerjaannya sebagai juru bahasa membuatnya harus belajar tiga bahasa lagi yaitu Inggris, Belanda dan Tionghoa. Karena pengetahuannya ini Abdullah diberi gelar al-Munsyi (pengajar bahasa-bahasa). Abdullah dapat menulis karya yang berbeda dari sastra lama karena pergaulannya dengan orang-orang barat. Beliau kenal karya-karya barat yang kemudian mempengaruhi karyanya. Karya-karya Abdullah yang ditulis selama hidupnya antara lain:
A. LATAR BELAKANG
Latar belakang berdirinya Balai Pustaka di Indonesia erat hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda jauh sebelumnya. Kaum Liberal yang berkuasa di Negeri Belanda memandang perlu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat bumiputera (rakyat Indonesia dahulu). Lahirlah politik Etis (yang bertalian dengan moral) pada tahun 1870. Politik Etis ini meliputi edukasi (pendidikan), transmigrasi, dan irigasi (pengairan). Di bidang pendidikan, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah seperlunya, terutama di pulau Jawa.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf berpikir segelintir rakyat Indonesia, di samping untuk menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda yang dapat digaji lebih murah daripada mengangkat pegawai dari negeri Belanda atau Eropa lainnya. Karena pendidikan ini, sebagian kecil rakyat bisa baca-tulis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda kalau-kalau kepandaian rakyat ini melunturkan kepercayaan dan kesetiaan kepada pemerintah. Lebih-lebih bila mereka ini mendapatkan bacaan dari luar yang isinya menghasut. Untuk itu perlu diatasi dengan mengadakan buku bacaan yang digemari rakyat, setelah disensor terlebih dahulu.
Pada tanggal 14 September 1908 dengan surat keputusan pemerintah no. 12 berdirilah sebuah komisi yang bernama Commissie voor de Inlandsche School (Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat). Komisi ini beranggotakan 6 orang yang dikepalai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Komisi ini berkewajiban pula member pertimbangan kepada Directuuur Onderwijs (Bagian Pengajaran) untuk memilih buku-buku yang baik bagi murid-murid di sekolah.
B. BERDIRINYA BALAI PUSTAKA
Makin banyak rakyat ingin membaca, makin banyak buku yang dibutuhkan. Tugas komisi makin banyak dan makin sibuk. Maka pada tanggal 22 September 1917 komisi tersebut menjadi Kantoor voor de Volkslectuur(Kantor Bacaan Rakyat) yang kemudian lebih dikenal dengan Balai Pustaka. Balai artinya bangunan atau tempat yang luas untuk melakukan kegiatan dan Pustaka artinya buku-buku.
Balai Pustaka ini beralamat di jalan Dr. Wahidin, Jakarta Pusat. Tugas Balai Pustaka berkenaan dengan karangmengarang dan pencetakan buku bacaan dan buku-buku lain. Usaha Balai Pustaka dalam memajukan kesusastraan antara lain:
Pada waktu itu, bahasa yang dipakai sebagai bahasa karangan di Balai Pustaka adalah bahasa Melayu. Karena itu pengarang-pengarang Balai Pustaka kebanyakan orang Melayu. Hanya beberapa pengarang yang bukan dari Melayu yang menjadi penulis dalam Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka merupakan lembaga yang mendukung pendidikan, Balai Pustaka sangat berperan dalam perkembangan sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Jasa-jasa Balai Pustaka antara lain:
Angkatan Balai Pustaka diambil dari nama penerbit ini karena sebagian besar pengarang pada periode ini berkumpul pada lembaga penerbitan ini. Sebelum dicetak Balai Pustaka berhak memperbaiki baik isi maupun bahasanya. Karena perana Balai Pustaka terhadap karya periode ini, angkatan tersebut disebut Angkatan Balai Pustaka Selain Balai Pustaka, nama lain yang digunakan untuk menyebut angkatan ini adalah Angkatan Dua Puluhan karena angkatan ini lahir pada rentang waktu tahun dua puluhan. Angkatan ini dimulai dari terbitnya buku Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang terbit tahun 1920 yang memiliki corak yang sama dengan karya-karya berikutnya. Kesamaan corak pada rentang waktu tersebut mendasari penamaan angkatan tersebut menjadi angkatan Dua Puluhan Selain dua nama tersebut angkatan ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya. Penamaan ini diambil dari judul sebuah roman karangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya. Hal ini sebagai akibat dari kepopuleran tema roman tersebut pada waktu itu.
E. PEMBAHARUAN YANG DILAKUKAN OLEH BALAI PUSTAKA
Pada periode ini terjadi perkembangan sastra yang berbeda dari sastra sebelumnya, yaitu sastra Melayu lama. Perkembangan ini terjadi pada setiap genre sastra yang dikenal dalam sastra Melayu, yaitu prosa, puisi, dan drama. Dalam prosa, angkatan Balai Pustaka telah bergerak jauh berbeda dari sastra Melayu lama. Dari segi isi, prosa periode ini mengambil bahan cerita dari Minangkabau.
Hal ini berbeda dengan prosa lama yang kebanyakan mengambil setting istana dangan tempat negeri “antah berantah” yang tidak bisa ditelusuri tempat sebenarnya. Kisah yang diceritakan dalam prosa-prosa Balai Pustaka mengangkat tema perjuangan kaum muda dalam menanggapi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam masyarakat. Kejanggalan-kejanggalan itu membentuk pertentangan-pertentangan antara kaum muda yang berpikiran maju dengan kaum tua yang berpikiran kolot. Secara lebih khusus tema-tema yang menjadi latar pertentangan antara kaum tua dan kaum muda mengenai adat, kawin paksa, kebangsawanan, poligami, gaya hidup barat dan sebagainya.
F. KARAKTERISTIK BALAI PUSTAKA
Dalam menunjukkan karakteristik periode angkatan Balai Pustaka Pradopo (2007: 23-4) membagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ciri-ciri struktur estetik dan ciri-ciri ekstra estetik. Struktur estetik lebihdekat dengan istilah unsur intrinsik dan ekstra estetik dengan unsur ekstrinsik
a. Ciri-ciri struktur estetik
1) Gaya bahasanya menggunakan perumpamaan klise (yang paling banyak dalam deskripsi fisik), pepatahpepatah, dan peribahasa, namun menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama. Perumpamaan klise ditemukan pada kutipan roman Sitti Nurbaya berikut.
Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari. Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambah manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi lalat yang hitam. Pandang matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung... Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya ... (Sitti Nurbaya, hal.1-2)
Selain perumpamaan klise, dalam roman Balai Pustaka sering ditemukan kutipan-kutipan pepatah yang disampaikan secara eksplisit oleh pengarang. “Tentu tak dapat,” jawab Samsu. “memang bagi seorang pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai bertemu buah si mala kamo. Dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?” ... “...
Bukankan sudah dikatakan dalam peribahasa: Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, tak berkeputusan.” (Sitti Nurbaya, 3940)
2) Alur roman sebagian besar alur lurus. Ada juga yang menggunakan alur sorot balik tapi sedikit, misalnya pada Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Kaabah.
3) Teknik penokohan dan perwatakannya banyak mempergunakan analisis langsung (direct author analysis).
4) Tokoh-tokohnya berwatak datar (flat character).
5) Setting berlatar kedaerahan. Selain itu setting yang digunakan adalah saat ini dan pada sebuah tempat tertentu di masa kini, bukan dahulu kala di negeri antahberantah
6) Pusat pengisahan pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga atau diaan. Ada juga yang menggunakan orang pertama atau akuan misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Kaabah.
7) Banyak terdapat digresi, yaitu sisipan yang tidak secara langsung berkaitan dengan cerita, misalnya uraian adat, dongeng-dongeng, syair, pantun, dsb.Digresi tersebut terdapat, misalnya, dalam kutipan-kutipan berikut.
Pantun
Demikian sekalian perempuan itu tertawa tertawa pula, sehingga malu Asri tadi itu terlipur sudah. Apabila karena Asnah pun ikut tertawa jua. Akan tetapi tertawanya itu sebagai bunyi pantun:
Maninjau berpadi masak,
batang kapas bertimbal jalan.
Hati risau dibawa gelak,
bak panas mengandung hujan. (Salah Pilih, 1990: 82-3)
Maka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang mencekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Bertambah-tambah besar hatinya menerima surat, karena telah dua Jumat ia tiada mendapat kabar dari Samsu. Segeralah ia masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar, dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya: Awal bermula berjejak kalam, Pukul sebelas suatu malam, Bulan bercahaya mengedar alam, Bintang bersinar laksana nilam. Langit jernih cuaca terang, Kota bersinar terang benderang, Angin bertiup serang menyerang, Ombak memecah di atas karang. ... (Sitti Nurbaya, 2008: 112)
Dongeng “Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?” tanya Samsu. “Sungguh belum, Sam,” sahut Nurbaya. ... Cerita yang pertama demikian bunyinya: Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari, tatkala ia hendak pergi, ditinggalkanya anaknya di atas suatu tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia kembali ke rumahnya, dilihatnya kucing itu duduk di muka rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah.... (Sitti Nurbaya, hal. 52)
8) Bersifat didaktis. Ciri-ciri didaktis ini merupakan karakteristik utama angkatan Balai Pustaka. Pendapat ini diambil dengan menilik fungsi pendirian Balai Pustaka,
latar belakang penulis-penulis balai pustaka yang sebagian besar adalah guru, digresi yang dipakai untuk melestarikan sastra tradisional seperti pantun, syair, pepatah, peribahasa, dsb. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa angkatan ini benar-benar menganut paham “seni bertendens.” 9) Bercorak romantis sentimental
b. Ciri-ciri ekstra estetik
1) Pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda soal adat lama dan kemodernan 2) Tidak mempermasalahkan nasionalisme dan rasa kebangsaan
Syair
latar belakang penulis-penulis balai pustaka yang sebagian besar adalah guru, digresi yang dipakai untuk melestarikan sastra tradisional seperti pantun, syair, pepatah, peribahasa, dsb. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa angkatan ini benar-benar menganut paham “seni bertendens.” 9) Bercorak romantis sentimental
b. Ciri-ciri ekstra estetik
Pengarang-pengarang Balai Pustaka seperti telah disebutkan di muka kebanyakan berasal dari Sumatera hanya sebagian kecil yang bukan berasal dari Sumatera. Dalam tulisan ini akan dibagi 2, yaitu pengarang yang berasal dari Sumatera dan bukan Sumatera.
a. Berasal dari Sumatera
- a. Pendekatan yang mengacu pada sejarah umum
- b. Pendekatan yang mengacu pada karya dan atau tokoh besar sastra
- c. Pendekatan yang mengacu pada tema-tema karya sastra dan perkembangannya
- d. Pendekatan yang mengacu pada asal usul karya sastra
a. Pendekatan Jenis sastra
Pendekatan ini mempertimbangkan hal-hal berikut.
- Konsep jenis sastra modern yang dinamik, yaitu bahwa karya sastra tidak hanya mengikuti konvensi, tetapi juga sering merombaknya.
- Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya, tetapi juga oleh kaitan atau pertentangan dengan jenis lain.
- Hubungan ambigu antara karya individual dan normanorma jenis sastra, yaitu hubungan intertekstual karyakarya individual.
- Sejarah sastra selalu berkaitan dengan sejarah umum.
(resepsi) sastra oleh masyarakat pembaca dari masa ke masa menentukan dinamikan sejarah sastra (Teeuw, 1984: 311-329).
BAB II
PERIODISASI DAN ANGKATAN DALAM SASTRA
Masalah periodisasi dan sistem angkatan dalam kesusastraan Indonesia adalah masalah lama yang menjadi pembahasan ilmuan-ilmuan sastra. Hal termudah yang bisa dilakukan adalah dengan menelusuri kedua kata itu karena masalah ini timbul karena pemahaman terhadap istilah yang digunakan. Penelusuran bisa dilakukan dengan mengakomodasi berbagai pendapat tentang kedua istilah tersebut kemudian dibandingkan dan cari jalan tengah yang dapat mengakumulasi semua pengertian. Periodisasi berasal dari kata periode. Periode berarti kurun waktu atau lingkaran waktu (masa) (KBI, 2008:).
Lebih detil lagi dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary dinyatakan bahwa periode adalah porsi waktu dalam hidup seseorang, bangsa, peradaban, dsb. Wellek (dalam Pradopo, 2007: 2) menyatakan bahwa periode – dalam kesusastraan – adalah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma-norma sastra, standarstandar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut. Angkatan, di sisi lain, sering disamakan dengan generasi. Kerancuan dengan istilah di atas terjadi karena sebagian ahli sejarah sastra menyamakan dengan pembabakan waktu dalam sejarah sastra (Rosidi, 1986: 194). Untuk memperjelas, mari kita tinjau istilah tersebut dalam berbagai pengertian dari berbagai sumber. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 44), angkatan diartikan sebagai kelompok orang yang lahir sezaman (sepaham dsb). Dari pembahasan kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa periode memiliki pengertian lebih luas.
Periode meliputi pula angkatan di dalamnya. Periode lebih menekankan rentang perkembangan sebuah karya sastra pada masa tertentu dari berbagai sudut pandang: pengaruh politik, pengaruh perubahan paradigma sastrawan, perkembangan sastra dsb. Angkatan lebih menekankan pada peran pengarang atau sastrawan dalam mengembankan kesusastraan sebagai tanggapan terhadap angkatan sebelumnya.
Dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian bergantung pembahasan, misalnya Pujangga Baru disebut angkatan sedangkan kesusastraan zaman Jepang yang merupakan perkembangan berikutnya disebut periode atau zaman Jepang karena dalam masa yang singkat ini ada ciri khusus yang tidak dimiliki oleh Pujangga Baru yang merupakan periode sebelumnya dan Angkatan 45 yang merupakan angkatan sesudahnya meskipun dalam periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan untuk melahirkan sebuah angkatan.
B. DASAR-DASAR YANG DIGUNAKAN DALAM PENENTUAN PERIODISASI
Dalam penentuan lahirnya sebuah periode baru, penulis sejarah sastra memiliki pendapat yang beragam. Pendapat tersebut berdasarkan cetusan mereka terhadap sebuah generasi baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari buku-buku tersebut disusun dasar-dasar yang digunakan dalam menentukan periode-periode kesastraan Indonesia. Untuk memudahkan pembahasan, aspek tersebut disesuaikan dengan empat orientasi kritik sastra M.H.
Abrams dalam The Mirror and the Lamp, yaitu mimetik, ekspresif, pregmatik, dan objektif. Orientasi ini disesuaikan menjadi aspek isi, kepengarangan, fungsi sosial karya dan unsur pembangun karya.
- Aspek Realitas - Aspek ini meliputi berbagai hal, antara lain tema, setting dalam realitas, dan nilai komunal yang tercermin dalam karya, misalnya kawin paksa, pertentangan tua muda, dsb. Dalam hal setting realitas sebuah karya menceritakan waktu tertentu dan tempat tertentu yang ditiru dari dunia nyata. Aspek mimetik ini dalam sebuah karya bisa membedakan sebuah periode, misalnya pada zaman Balai Pustaka setting yang ditampilkan adalah kehidupan Minangkabau pada zaman kolonial. Sekilas hal ini termasuk dalam unsur pembangun karya. Tetapi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah faktor eksternal karya yaitu realitas kehidupan nyata yang ditiru oleh karya tersebut.
- Kepengarangan - Aspek kepengarangan berkenaan dengan ciri khas karya seorang pengarang dan pengaruh-pengaruh yang mempengaruhi pengarang. Ciri khas pengarang adalah kreativitas unik yang hanya dimiliki oleh seseorang yang berbeda dengan orang lain. Akan tetapi, dalam keunikannya, ada ciri-ciri umum yang sama pengaruh zamannya. Sehingga pada periode atau rentang waktu yang sama beberapa pengarang memiliki kesamaan dalam konvensi kesusastraannya. Selain itu, pengaruh ideologi yang berkembang juga menentukan pilihan pengarang.
- Fungsi Sosial Karya - Sastra Fungsi sosial karya sastra sulit untuk diketahui secara langsung. Karya sastra masuk ke dalam mindset seseorang bukan sebagai sesuatu yang langsung terdefinisi. Nilai dalam karya sastra masuk melalui cerita direfleksikan terhadap diri sendiri menghasilkan pemahaman yang unik bergantung kepada apa yang tersimpan dalam kepala pembaca yang dikumpulkan melalui pengalaman-pengalaman selama hidupnya. Yang paling jelas adalah fungsi pembuatan karya. Seorang pengarang menulis sebuah karya paling tidak untuk dibaca. Pengaruhnya bisa ditunjukkan misalnya mengapa Rendra ditahan hanya karena membaca puisi? Jika puisi tidak berpengaruh pada masyarakat, Rendra tidak akan ditahan. Mengapa pula ketika orang mengatakan cinta sejati, mereka langsung menyimbolkan dengan romeo dan juliet? Mengapa pula ketika orang Indonesia berbicara tentang kawin paksa, mereka mengatakan, “Ini bukan jaman Sitti Nurbaya”?
- Unsur Pembangun Karya - Unsur pembangun karya adalah unsur yang secara eksplisit dan implisit terkandung dalam sebuah karya. Penggambaran sastra dengan pendekatan ini mendeskripsikan ciri-ciri yang bisa ditemukan dalam teks sastra.
Periodisasi dalam tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu sastra lama, sastra peralihan, dan sastra baru. Periodisasi ini digunakan sebagian besar penulis sejarah sastra yang ada kecuali yang tidak mengakui sastra sebelum kemerdekaan. Meskipun menggunakan periodisasi yang sama kategori sastra yang dimasukkan dalam periodeperiode tersebut berbeda. Akan tetapi berikut akan dihadirkan periodisasi-periodisasi yang dilakukan oleh penulis-penulis sejarah sastra.
- Masa Animisme-Dinamisme
- Masa Hindu
- Masa Islam
- Masa Peralihan / Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
- Angkatan Balai Pustaka
- Angkatan Pujangga Baru
- Kesusastraan Zaman Jepang
- Angkatan 45
- Angkatan 66
- Angkatan 80
- Angkatan 2000
Sastra lama menurut para ahli meliputi kesusastraan zaman purba, kesusastraan zaman Hindu, dan kesusastraan zaman Islam. Meskipun periodisasi ini diakui oleh hampir semua penulis sejarah sastra Indonesia, namun rentang tahun yang digunakan berbeda-beda. Nugroho Notosusanto membagi dua periode, yaitu kesusastraan Melayu lama dan kesusastraan Melayu modern. Rentang waktu sastra Melayu lama sejak masa dahulu yang tidak terbatas sampai periode 1920-an. Rentang waktu ini juga sama dengan yang dinyatakan oleh Ajip Rosidi, dan H.B Jassin. Penulis lain menyelipkan, di antara kesusastraan Melayu lama dan kesusastraan Melayu baru, kesusastraan peralihan. Hal inilah yang membedakan rentang waktu tersebut. Sebagian penulis memasukkan masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ke dalam satra lama, sastra peralihan, dan ada yang memasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia baru.
a. Kesusastraan Zaman Purba/Kuno
Kesusastraan pada periode ini adalah kesusastraan yang mencerminkan zaman sebelum adanya pengaruh india, yaitu kesusastraan berupa doa, mantra, silsilah, adat-istiadat, dongeng, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya. Kesusastraan zaman ini merupakan kesusastraan yang berdasarkan medianya merupakan sastra lisan.
b. Kesusastraan Zaman Hindu
Pada periode ini masuk cerita-cerita dari india yang merupakan bagian dari ajaran agama Hindu. J.S. Badudu memasukkan zaman Hindu menjadi satu periode dengan kesusastraan zaman Islam, yaitu zaman HinduIslam. Hal senada juga terdapat dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik karya Liau Yock Fang. Dalam buku tersebut kesusastraan zaman purba disebut kesusastraan rakyat. Kesusastraan Hindu tidak dimasukkan dalam pembahasan hanya kesusastraan zaman peralihan Hindu-Islam dan kesusastraan zaman Islam. Dalam buku ini hanya kelengkapan pembahasan yang menjadi titik tumpu mengingat buku ini ditujukan pada pelajar pemula.
c. Kesusastraan Zaman Islam
Periode ini berlangsung setelah masuknya Islam di Indonesia. Ada ahli yang menggantikan kata Islam dengan Arab. Penamaan ini kurang tepat mengingat dalam sastra Indonesia tidak ada terlalu banyak pengaruh sastra Arab. Pengaruh tersebut terjadi dalam konteks ke-Islaman yang ditunjukkan dengan perubahan beberapa naskah Hindu yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Syair yang merupakan sastra Arab asli masuk bukan semata-mata karena sastra tetapi menjadi kebiasaan ulama-ulama Islam untuk menulis syair dalam pelajaran agama, ilmu bahasa, dan sebagainya.
2. Kesusastraan Peralihan
Kesusastraan peralihan ini terjadi pada zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (lahir pada 1796 dan meninggal pada 1854). Pada masa ini sudah ada pengaruh barat terhadap kesusastraan Indonesia (Melayu). Sabaruddin Ahmad memasukkan periode ini kedalam kesusastraan baru. Kesusastraan zaman ini juga disebut dengan kesusastraan zaman Abdullah. Penamanaan ini dengan mempertimbangkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama, perubahan corak kesusastraan itu dipelopori oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Kedua, kesusastraan pada zaman itu tidak berkembang dan hanya merupakan karya Abdullah sendiri karena tanpa pengikut.
3. Kesusastraan Baru
Periode ini dimulai sejak berdirinya Balai Pustaka sampai saat ini. Periode-periode tersebut seperti yang tersusun sebagai berikut.
- Angkatan 20 - Angkatan 20-an disebut juga angkatan Balai Pustaka karena karya sastra yang termasuk dalam angkatan ini adalah tebitan Balai Pustaka. Angkatan ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya karena dalam periode ini roman Siti Nurbaya sangat melegenda.
- Angkatan 33 - Angkatan 33 disebut juga angkatan Pujangga Baru karena penggagas aliran baru tersebut terkumpul dalam majalah Pujangga Baru.
- Kesusastraan Zaman Jepang - Kesusastraan ini lahir pada 1942-1945, yaitu dalam masa penjajahan Jepang di Indonesia. Pengaruh penjajahan ini berpengaruh terhadap sastra pada saat itu. Pengaruh tersebut disebabkan adanya batasan-batasan karya yang boleh diterbitkan
- Angkatan 45 - Angkatan 45 disepakati hampir semua penulis sejarah sastra dengan nama yang sama. Periode ini dimulai sejak zaman kemerdekaan sampai dengan 1966
- Angkatan 66 - Angkatan 66 adalah angkatan yang popular dan diakui hampir semua penulis sejarah sastra. Angkatan ini timbul bersama terbitnya majalah Horison yang murni menerbitkan tulisan tentang sastra.
BAB III
SASTRA INDONESIA KLASIK
A. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM PERIODISASI SASTRA KLASIK
Dalam periodisasi sastra klasik, para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Berikut akan disajikan beberapa pendapat penulis-penulis buku sejarah sastra.
Pembagian di atas menunjukkan perbedaan para ahli dalam menetapkan periode-periode dalam kesusastraan Indonesia klasik. Dalam buku ini pendapat yang digunakan adalah pendapat Liau Yock Fang. Pendapat ini lebih konkret menampilkan kesusastraan Indonesia klasik karena didasarkan pada bukti-bukti sejarah berupa naskah-naskah klasik yang masih bisa ditelusuri keberadaannya. Pembagian ini juga memisahkan kesusastraan masa peralihan dalam bab tersendiri.
B. KESUSASTRAAN RAKYAT
Sastra klasik periode pertama ini sering disebut kesusastraan zaman animisme-dinamisme. Penamaan ini didasarkan pada kepercayaan yang dianut masyarakat pada waktu itu. Mudah dipahami pula jika melihat zaman berikutnya, yaitu zaman Hindu dan Islam yang dinamakan berdasarkan kepercayaan yang dianut pada masa berikutnya. Penamaan ini kurang tepat jika ditinjau dari isi kesusastraan pada zaman ini tidak semua mengandung nilai animisme-dinamisme. Hal ini berbeda dengan zaman sesudahnya yang mengandung nilai-nilai ajaran Hindu dan Islam. Dengan pertimbangan ini, kesusastraan zaman awal ini diberi nama kesusastraan rakyat. Kesusastraan rakyat adalah kesusastraan yang berkembang di kalangan rakyat yang kebanyakan tidak bisa membaca. Kesusastraan rakyat, dengan demikian, diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, misalnya oleh ibu terhadap anaknya, tukang cerita kepada pendudukpenduduk kampung, dsb. Kesusastraan rakyat ini berbeda dengan kesusastraan istana. Jika kesusastraan rakyat diturunkan dengan media lisan, kesusastraan istana ditulis, disimpan, dan bisa diturunkan dengan membaca. Kesusastraan rakyat ini termasuk dalam kajian yang lebih luas yang disebut folklor. Dalam folklor, ada tiga bagian besar yang menjadi kajiannya, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Yang termasuk dalam kajian ini hanya folklor lisan (Danandjaya, 1991). Dan dalam folklor lisan ini hanya sajak atau puisi rakyat dan prosa rakyat yang dimasukkan dalam kesusastraan lisan.
1. Sajak atau Puisi Rakyat
Sajak atau puisi rakyat biasanya berupa bentuk terikat. Bentuknya antara lain ungkapan tradisional (peribahasa), mantra, dan pantun. Ketiga bentuk puisi rakyat ini dibahas sebagai berikut.
- a. Peribahasa - Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunanya, ringkas, padat dan biasanya mengiaskan maksud tertentu, misalnya nasihat, prinsip hidup, dsb. Dalam peribahasa terdapat bidal, pepatah, dan ungkapan.
- b. Mantra - Mantra adalah sejenis puisi yang berkaitan dengan kepercayaan (Simanjuntak, 1955: 59). Mantra berfungsi sebagai salah saru ritual pada kepercayaan tersebut. Kebanyakan mantra berisi pemujaan, kutukan, dan larangan. Dalam bentuknya, mantra tidak mewajibkan rima atau persajakan akhir. Kata-katanya terpilih. Sebagian disusun dengan kata-kata yang sama. Yang terpenting dari semuanya adalah susunan kata yang enak didengar.
- Yang cape datang bertongkat,
- Yang buta meraba-raba,
- Yang tuli lekas bertanya,
- Yang kecil terambil lintang,
- Yang jarak tolak-tolakan,
- Yang pendek bertinjau-tinjau,
- Yang kura mengekur angin,
- Yang pekak membakar meriam,
- Yang buta mengembus lesung,
- Yang lumpuh penghalau ayam,
- Yang pekong penjemuran,
- Yang kurap pemikul buluh. (Hikayat Raja Muda)
Pantun adalah salah satu bentuk puisi terikat asli Indonesia. Seperti kebanyakan sastra lama, pantun juga merupakan seni kolektif masyarakat Indonesia. Hampir semua daerah di Indonesia mengenal pantun dengan sebutan yang berbeda-beda sesuai bahasa daerahnya. Di Madura, misalnya, pantun disebut sendèlan [səndεlan], di Jawa ada yang disebut pari’an, dsb. Karena milik bersama, pantun dalam peredarannya bersifat anonim atau tidak diketahui pengarangnya. Akan tetapi, meskipun tidak diketahui pengarangnya, pantun tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ada otoritas tertentu yang menguasai pembuatan dan memiliki posisi dalam adat. Dalam kesusastraan Indonesia baru, pantun masih ditemukan dalam periode balai pustaka atau yang lebih terkenal dengan Angkatan Balai Pustaka.
Pada periode ini pantun sering ditemukan pada karya berbentuk prosa, misalnya pada Sitti Nurbaya karya Marah Rusli yang cenderung dipaksakan. Dalam roman ini, pantun menjadi ucapan-ucapan mesra dalam dialog antara Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri.
Seperti halnya sastra lama yang lain, pantun juga sudah mulai ditinggalkan. Perkembangan pantun mandeg karena sudah tidak diminati lagi. Bahasa pantun seolah-oleh menjadi bahasa-bahasa klise yang sudah tidak bernyawa lagi. Ironisnya, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melindungi warisan kebudayaan ini. Hal ini berbeda dengan Malaysia yang dengan tokoh Jarjit Singh dalam film kartun anak-anak Upin dan Ipin telah mengenalkan pantun pada usia dini. Bagaimana dengan Indonesia?
1) Definisi Pantun
Pantun berarti misal, umpama, ibarat, dan tamsil. Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama Indonesia yang terdiri atas empat baris. Dua baris pertama adalah sampiran dan dua bait terakhir adalah isi. Keempat baris tersebut dihubungkan dengan persamaan bunyi suku kata terakhir yang disebut rima atau sajak.
2) Syarat-Syarat Pantun
Pantun dengan berbagai jenisnya harus memiliki syarat-syarat berikut.
Terdiri atas sejumlah baris yang jumlahnya genap, yaitu 2 (karmina), 4 (pantun), dan 6 atau lebih (talibun).
Dalam satu baris biasanya terdiri atas 4 sampai 6 kata atau 8 sampai 12 suku kata.
Separuh baris pertama disebut sampiran; separuh kedua disebut isi.
Tiap-tiap baris dihubungkan dengan persamaan bunyi suku terakhir dan kemiripan bunyi pada suku kedua sebelum akhir yang disebut rima atau sajak.
Dalam hal sampiran dan isi, para ahli berbeda pendapat mengenai kaitan antara keduanya. William Marsden dan John Crawfurd berpendapat bahwa kaitan antara sampiran dan isi merupakan kaitan bunyi dan arti. Mereka berpendapat bahwa sampiran adalah kiasan dari isi.
Senada dengan keduanya adalah Ajip Rosidi yang menyatakan bahwa keadaan alam dalam sampiran merupakan gambaran dari isi dalam baris-baris berikutnya. Tokoh lain, seperti Abbe P. Favre dan Dr. Pynappel, A. Van Ophuysen, dan Van der Tuuk berpendapat bahwa kebanyakan dari sampiran memiliki hubungan dengan isi, bahkan sampiran sering merupakan peribahasa. Sudah gaharu cendana pula Sampiran tersebut sudah berdiri sendiri menjadi kias dari larik/baris berikutnya, yaitu “Sudah tahu bertanya pula”. Baris pertama tersebut merupakan peribahasa yang artinya adalah baris kedua. Persajakan sebuah pantun, seperti persajakan sastra lama lainnya, terdiri atas sajak akhir (rima), sajak tengah, dan sajak depan. Di antara ketiganya, sajak akhir merupakan inti dari persajakan. Sajak tengah dan sajak depan merupakan penyempurna sajak akhir.
2. Prosa Rakyat
Prosa-prosa Indonesia tidak hanya mengadopsi gaya prosa Barat. Sebelumnya telah ada prosa asli Indonesia sebelum ada pengaruh dari Eropa. Untuk mempermudah, prosa Indonesia, secara historis, dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu prosa Indonesia lama dan prosa Indonesia baru. Prosa barau akandijelaskan pada kesempatan lain. Rincian pembagian tersebut tersusun sebagai berikut
1. Prosa Indonesia Lama
a. Prosa Asli
- Dongeng
- Epos
- Parabel
- Cerita lucu
- Cerita didaktis
- Pelipur lara
- Cerita sejarah
- Dsb.
1. Prosa Pengaruh Islam Danandjaya (1991) menggunakan pembagian yang berbeda dalam prosa lama Indonesia. Pembagian ini lebih mudah dimengerti dan terstruktur dengan baik berdasarkan kategori. Prosa lama Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap pernah terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Mite Indonesia biasanya bercerita tentang terjadinya alam semesta (cosmogony), susunan atau dunia para dewa (pantheon), manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero), terjadinya makanan pokok untuk pertama kalinya, dan sebagainya. Seperti halnya dengan mite, legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita. Perbedaan dengan mite adalah legenda bersifat sekuler (keduniawian) terjadi pada waktu yang tidak begitu lampau dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang.
Legenda, seperti juga mite, memiliki jenis yang beragam. Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991: 65) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok. Keempat kelompok itu adalah legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat. Legenda keagamaan adalah legenda yang bercerita tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama di luar kitab suci. Termasuk dalam legenda jenis ini adalah legenda orang(-orang) suci. Legenda jenis ini, misalnya, kisah Wali Sanga di Jawa. Selain tentang orang-orang suci, terdapat pula legenda-legenda tentang kemu’jizatan, kekeramatan, wahyu, permintaan melalui doa, ikrar yang terkabul dan sebagainya.
Selain itu ada “kitab suci rakyat” yang termasuk dalam legenda keagamaan. Legenda semacam ini biasanya berbentuk cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. C.W. von Sydow menamakan legenda ini memorat yang merupakan pengalaman pribadi seseorang. Legenda ini bercerita tentang makhluk halus, desa gaib, hantu, dsb. Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi.
Cerita Panji adalah salah satu jenis legenda ini yang berasal dari Jawa. Di Madura ada Bangsacara-Ragapadmi, Joko Tole, Ke‟ Lesap, dan sebagainya. Legenda jenis ini memiliki cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, bentuk topografi, dan sebagainya. Legenda yang termasuk nama tempat, misalnya, nama kota Kuningan, Jawa Barat, yang berasal dari nama Arya Kemuning, yang lahir dari istri Sunan Gunung Jati yang dari Cina, legenda nama desa Trunyan, Bali, dan sebagainya. Legenda topografi terdapat pada legenda Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Batok, dan sebaginya. Jika mite dan legenda merupakan cerita yang dianggap pernah terjadi oleh yang empunya cerita, dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi.
Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan. Namun, selain sebagai hiburan, banyak dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi pelajaran hidup, atau bahkan sindiran. Anti Aarne dan Stith Thomson (1964: 19-20, dalam Danandjaya, 1991: 86) membagi dongeng dalam empat golongan besar, yaitu dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng berumus.
Dongeng binatang disebut juga fabel. Dongeng ini ditokohi oleh binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan, dan serangga. Binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Tokoh fabel terpenting di Indonesia adalah kancil dan kera. Kedua ini adalah hewan yang dianggap cerdik dan licik. Kedua hewan tersebut biasanya melawan hewan yang kuat tetapi bodoh. Di Indonesia hewan ini diwakili dengan sosok harimau dan buaya. Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling populer bertipe Cinderella.
Tipe ini bersifat universal dan tersebar di seluruh dunia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada Ande-Ande Lumut, di Jakarta ada Bawang Putih dan Bawang Merah, dan di Bali ada I Kesuna lan I Bawang. Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati sehingga menyebabkan tawa baik bagi yang mendengar maupun bagi yang menceritakan. Perbedaan antara lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang atau beberapa orang tokoh, lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku, golongan, agama, dan ras. Anekdot dapat dianggap sebagai bagian dari “riwayat hidup” fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai “sifat” atau “tabiat” fiktif anggota suatu kolektif tertentu. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya mengalami pengulangan.
Dongeng jenis ini dibagi menjadi tiga subtipe, yaitu dongeng kumulatif (cumulative tale), dongeng mempermainkan (catch tale), dan dongeng tanpa akhir (endless tale). Berikut adalah contoh contoh dongeng berumus. Alkisah pada suatu hari di suatu lorong sepi terlihat seekor nyonya lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Si tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Si kucing lari terbirit-birit ketakutan karen diburu oleh seekor anjing. Si anjing lari terbirit-birit karena diburu seorang Batak. Si orang Batak lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang polisi. Dan si polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB (operasi tertib) [kumulative tales]
C. KESUSASTRAAN ZAMAN HINDU
Sastra tertulis mulai dikenal pada kira-kira tahun 500an. Namun, tidak banyak masyarakat yang mengenal tulisan pada waktu itu. Hanya golongan tertentu yang mengenal tulisan, seperti raja-raja, pendeta, dan sejumlah kecil orang biasa (Wirjosoedarmo, 1990: 34). Meskipun ada pengaruh Hindu dalam sastra Melayu lama tetapi sastra Hindu tersebut ditulis pada saat setelah agama Islam masuk ke Indonesia (1990: 35). Ini terbukti dalam sastra melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu atau jawi. Karya-karya masa ini disajikan sebagai berikut. 1. Mahabarata 2. Ramayana 3. Pancatantra
D. KESUSASTRAAN ZAMAN ISLAM
Dalam penyebutan sering disebut sastra Islam. Sastra Islam sebagai istilah bermakna rancu sebab mungkin muncul pertanyaan adakah bagian sastra dalam Islam? Jawabannya tentu saja tidak. Wirjosoedarmo menamakan sastra masa Islam yaitu masa ketika Islam menjadi agama negara. Dengan sedikit berbeda, Liau Yock Fang (1991) menamakan kesusastraan zaman Islam. Dua nama ini bisa dianggap sama, yaitu sastra Indonesia (Melayu) yang dipengaruhi sastra yang dibawa oleh penyebar agama Islam. Namun, kembali pada hakikat sistemnya sastra masa ini bisa dikatakan sastra yang dipengaruhi sastra arab, misalnya syair melayu. Pengaruh Islam bisa ditemukan dalam isi yang diceritakan. Seperti juga sastra zaman hindu, hanya isinya yang dipengaruhi agama Hindu sedang bentuknya diadaptasi dari sastra India, misalnya gurindam. Berdasarkan isinya inilah sastra pada masa kerajaan Islam disebut kesusastraan zaman Islam.
1. Jenis-Jenis Kesusastraan
Zaman Islam Jenis-jenis sastra bisa ditinjau dari beberapa segi. Berdasarkan isi, Liau Yock Fang (1991) membagi kesusastraan zaman islam menjadi lima yaitu cerita alQuran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi, cerita pahlawan Islam, dan sastra kitab. Wirjosoedarmo (1990: 60168) menyajikan pembagian yang berbeda.
Berikut pembagiannya.
a. Buku-buku yang berhubungan erat dengan ajaran Islam.
- Buku-buku yang berisi ajaran Islam: berhubungan dengan rukun Islam dan rukun iman
- Buku yang berisi riwayat para nabi dan rasul: riwayat Nabi Adam,Nabi Idris, dsb.
- Buku-buku yang berisi hikayat pahlawan-pahlawan Islam: Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, dsb.
- Buku-buku yang berhubungan dengan ketatanegaraan: Tajussalatina „mahkota raja-raja‟, Bustanussalatina (taman raja-raja), dsb.
c. Buku-buku yang bersifat pelipur lara d. Buku-buku yang bersifat simbolis atau didaktis
2. Tokoh-Tokoh Kesusastraan Zaman Islam Berikut tokoh-tokoh yang termasuk dalam kesusasraan zaman Islam.
- a. Tun Muhammad atau Tun Seri Lanang
- b. Hamzah Fansuri
- c. Syamsuddin al-Sumatrani
- d. Nuruddin ar-Raniri
- e. Bukhari al Jauhari
- f. Raja Ali Haji
- g. Siti Saleha
BAB IV
KESUSASTRAAN PERALIHAN KESUSASTRAAN ZAMAN ABDULLAH
A. PENGERTIAN Kesusastraan pada masa ini disebut kesusastraan peralihan karena adanya gejala-gejala masa peralihan, antara sastra lama dan sastra baru yang mendapat pengaruh dari Barat. Kesusastraan zaman ini dipelopori oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Kesusastraan zaman ini tidak berkembang karena Abdullah tidak memiliki seorang pun pengikut sehingga dapat dikatakan bahwa kesusastraan zaman ini adalah kesusastraan Abdullah semata. Perbedaan kesusastraan zaman ini dengan zaman sebelumnya dapat diktegorikan berdasarkan isi dan bahasanya. B. ISI Perbandingan antara sastra lama dan sastra peralihan disajikan dalam tabel berikut.
Lama
- Berkisah tentang sesuatu yang fantastis: penuh keajaiban, dunia yang antah berantah dan tokoh-tokoh yang hidupnya seperti dewa.
- Pusat penceritaan adalah istana atau orang-orang istana Pusat penceritaan adalah orang-orang biasa.
- Berkisah tentang realitas sehari-hari. Tokohnya orang orang biasa, termasuk pengarang. Peristiwa yang diceritakan adalah peristiwa yang menarik.
- Pusat penceritaan adalah orang-orang biasa
Dalam segi bahasa Abdullah berusaha mengurangi penggunaan-penggunaan klise dan kata-kata
Arab yang terlalu banyak digunakan pada waktu itu. Namun, pada persambungan paragraph masih ditemui kata-kata seperti: maka, syahdan, hatta, arkian, kalakian, sebermula, dan sebagainya. Dari segi isi dan bahasa Abdullah telah meninggalkan sastra lama. Hal ini terjadi pada genre prosa. Dalam puisi Abdullah masih menggunakan pantun dan syair yang merupakan karya sastra lama.
D. RIWAYAT HIDUP ABDULLAH DAN KARYANYA
Beliau dilahirkan di Malaka pada tahun 1796 dan meninggal di Jedah pada tahun 1854. Moyang laki-lakinya bernama syaikh Abdulkadir berasal dari Yaman dan moyang perempuannya berasal dari Nagore, India. Kakek nenek Abdullah menjadi guru agama di Malaka. Ayah beliau selain menjadi guru agama berprofesi sebagai pedagang. Abdullah, dilihat dari asal-usul keturunan campuran yang beragam. Karena itu ia disebut peranakan Melayu. Ayahnya Abdullah mendapatkan pendidikan keras dalam belajar bahasa Arab. Selain itu darah keturunannya membuatnya mampu berbahasa dua lagi selain bahasa Arab, yaitu Melayu dan Keling. Karena pekerjaannya sebagai juru bahasa membuatnya harus belajar tiga bahasa lagi yaitu Inggris, Belanda dan Tionghoa. Karena pengetahuannya ini Abdullah diberi gelar al-Munsyi (pengajar bahasa-bahasa). Abdullah dapat menulis karya yang berbeda dari sastra lama karena pergaulannya dengan orang-orang barat. Beliau kenal karya-karya barat yang kemudian mempengaruhi karyanya. Karya-karya Abdullah yang ditulis selama hidupnya antara lain:
- Hikayat Abdullah
- Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ke Kelantan
- Singapura Dimakan Api
- Hikayat Panjatanderan
- Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah
BAB V
KESUSASTRAAN ZAMAN BALAI PUSTAKA
A. LATAR BELAKANG
Latar belakang berdirinya Balai Pustaka di Indonesia erat hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda jauh sebelumnya. Kaum Liberal yang berkuasa di Negeri Belanda memandang perlu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat bumiputera (rakyat Indonesia dahulu). Lahirlah politik Etis (yang bertalian dengan moral) pada tahun 1870. Politik Etis ini meliputi edukasi (pendidikan), transmigrasi, dan irigasi (pengairan). Di bidang pendidikan, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah seperlunya, terutama di pulau Jawa.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf berpikir segelintir rakyat Indonesia, di samping untuk menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda yang dapat digaji lebih murah daripada mengangkat pegawai dari negeri Belanda atau Eropa lainnya. Karena pendidikan ini, sebagian kecil rakyat bisa baca-tulis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda kalau-kalau kepandaian rakyat ini melunturkan kepercayaan dan kesetiaan kepada pemerintah. Lebih-lebih bila mereka ini mendapatkan bacaan dari luar yang isinya menghasut. Untuk itu perlu diatasi dengan mengadakan buku bacaan yang digemari rakyat, setelah disensor terlebih dahulu.
Pada tanggal 14 September 1908 dengan surat keputusan pemerintah no. 12 berdirilah sebuah komisi yang bernama Commissie voor de Inlandsche School (Komisi Bacaan Sekolah Bumi Putra dan Rakyat). Komisi ini beranggotakan 6 orang yang dikepalai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Komisi ini berkewajiban pula member pertimbangan kepada Directuuur Onderwijs (Bagian Pengajaran) untuk memilih buku-buku yang baik bagi murid-murid di sekolah.
B. BERDIRINYA BALAI PUSTAKA
Makin banyak rakyat ingin membaca, makin banyak buku yang dibutuhkan. Tugas komisi makin banyak dan makin sibuk. Maka pada tanggal 22 September 1917 komisi tersebut menjadi Kantoor voor de Volkslectuur(Kantor Bacaan Rakyat) yang kemudian lebih dikenal dengan Balai Pustaka. Balai artinya bangunan atau tempat yang luas untuk melakukan kegiatan dan Pustaka artinya buku-buku.
Balai Pustaka ini beralamat di jalan Dr. Wahidin, Jakarta Pusat. Tugas Balai Pustaka berkenaan dengan karangmengarang dan pencetakan buku bacaan dan buku-buku lain. Usaha Balai Pustaka dalam memajukan kesusastraan antara lain:
- Mengumpulkan atau menghimpun cerita-cerita (dongeng) daerah dan mengalihkannya ke dalam bahasa Melayu.
- Menerjemahkan cerita-cerita Eropa atau cerita asing lainnya ke dalam bahasa Melayu.
- Menerbitkan majalah dalam bahasa daerah yaitu: Panji Pustaka (Melayu), Parahiayangan (Sunda), dan Kejawen (Jawa).
- Menerbitkan buku Almanak Rakyat yang berisi ilmu pengetahuan praktis untuk kehidupan rakyat sehari-hari dengan harga murah.
- Membuka perpustakaan rakyat melalui sekolah-sekolah di pelosok tanah air.
Pada waktu itu, bahasa yang dipakai sebagai bahasa karangan di Balai Pustaka adalah bahasa Melayu. Karena itu pengarang-pengarang Balai Pustaka kebanyakan orang Melayu. Hanya beberapa pengarang yang bukan dari Melayu yang menjadi penulis dalam Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka merupakan lembaga yang mendukung pendidikan, Balai Pustaka sangat berperan dalam perkembangan sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Jasa-jasa Balai Pustaka antara lain:
- Mempercepat pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Indonesia.
- Perkembangan dan kemajuan sastra menjadi pesat karena naskah karangan yang disusun pengarang dapat terbit dengan biaya Balai Pustaka.
- Pertumbuhan dan perkembangan bahasa lebih terpelihara karena hanya naskah cerita yang bahasanya baik yang dapat diterbitkan.
- Membangkitkan semangat pengarang-pengarang muda dan mengembangkan bakat mereka.
- Sampai sekarang merupakan gelanggang karangmengarang dan cetak mencetak buku. Karena berdiri dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, ada dampak-dampak yang merugikan bagi karangan yang akan diterbitkan. Hal ini terjadi karena naskah-naskah yang masuk bisa dicetak hanya jika memenuhi kriteria tulisan yang diperkenankan pemerintah Hindia Belanda.
- Pengarang tidak bebas mengemukakan pikiran dan perasaan karena harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan pemerintah Hindia Belanda misalnya naskah tidak boleh berbau politik, harus netral dan tidak boleh menyinggung suatu golongan.
- Staf redaksi sebagai pengemban kemauan pemerinth Hindia Belanda sangat menentukan nasib sebuah naskah. Tidak jarang naskah yang terbit itu sudah berbeda jauh dari aslinya karena disesuaikan dengan selera staf redaksi.
Angkatan Balai Pustaka diambil dari nama penerbit ini karena sebagian besar pengarang pada periode ini berkumpul pada lembaga penerbitan ini. Sebelum dicetak Balai Pustaka berhak memperbaiki baik isi maupun bahasanya. Karena perana Balai Pustaka terhadap karya periode ini, angkatan tersebut disebut Angkatan Balai Pustaka Selain Balai Pustaka, nama lain yang digunakan untuk menyebut angkatan ini adalah Angkatan Dua Puluhan karena angkatan ini lahir pada rentang waktu tahun dua puluhan. Angkatan ini dimulai dari terbitnya buku Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang terbit tahun 1920 yang memiliki corak yang sama dengan karya-karya berikutnya. Kesamaan corak pada rentang waktu tersebut mendasari penamaan angkatan tersebut menjadi angkatan Dua Puluhan Selain dua nama tersebut angkatan ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya. Penamaan ini diambil dari judul sebuah roman karangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya. Hal ini sebagai akibat dari kepopuleran tema roman tersebut pada waktu itu.
E. PEMBAHARUAN YANG DILAKUKAN OLEH BALAI PUSTAKA
Pada periode ini terjadi perkembangan sastra yang berbeda dari sastra sebelumnya, yaitu sastra Melayu lama. Perkembangan ini terjadi pada setiap genre sastra yang dikenal dalam sastra Melayu, yaitu prosa, puisi, dan drama. Dalam prosa, angkatan Balai Pustaka telah bergerak jauh berbeda dari sastra Melayu lama. Dari segi isi, prosa periode ini mengambil bahan cerita dari Minangkabau.
Hal ini berbeda dengan prosa lama yang kebanyakan mengambil setting istana dangan tempat negeri “antah berantah” yang tidak bisa ditelusuri tempat sebenarnya. Kisah yang diceritakan dalam prosa-prosa Balai Pustaka mengangkat tema perjuangan kaum muda dalam menanggapi kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam masyarakat. Kejanggalan-kejanggalan itu membentuk pertentangan-pertentangan antara kaum muda yang berpikiran maju dengan kaum tua yang berpikiran kolot. Secara lebih khusus tema-tema yang menjadi latar pertentangan antara kaum tua dan kaum muda mengenai adat, kawin paksa, kebangsawanan, poligami, gaya hidup barat dan sebagainya.
F. KARAKTERISTIK BALAI PUSTAKA
Dalam menunjukkan karakteristik periode angkatan Balai Pustaka Pradopo (2007: 23-4) membagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ciri-ciri struktur estetik dan ciri-ciri ekstra estetik. Struktur estetik lebihdekat dengan istilah unsur intrinsik dan ekstra estetik dengan unsur ekstrinsik
a. Ciri-ciri struktur estetik
1) Gaya bahasanya menggunakan perumpamaan klise (yang paling banyak dalam deskripsi fisik), pepatahpepatah, dan peribahasa, namun menggunakan bahasa percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama. Perumpamaan klise ditemukan pada kutipan roman Sitti Nurbaya berikut.
Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari. Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambah manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi lalat yang hitam. Pandang matanya tenang dan lembut, sebagai janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung... Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya ... (Sitti Nurbaya, hal.1-2)
Selain perumpamaan klise, dalam roman Balai Pustaka sering ditemukan kutipan-kutipan pepatah yang disampaikan secara eksplisit oleh pengarang. “Tentu tak dapat,” jawab Samsu. “memang bagi seorang pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai bertemu buah si mala kamo. Dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?” ... “...
Bukankan sudah dikatakan dalam peribahasa: Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, tak berkeputusan.” (Sitti Nurbaya, 3940)
2) Alur roman sebagian besar alur lurus. Ada juga yang menggunakan alur sorot balik tapi sedikit, misalnya pada Azab dan Sengsara dan Di Bawah Lindungan Kaabah.
3) Teknik penokohan dan perwatakannya banyak mempergunakan analisis langsung (direct author analysis).
4) Tokoh-tokohnya berwatak datar (flat character).
5) Setting berlatar kedaerahan. Selain itu setting yang digunakan adalah saat ini dan pada sebuah tempat tertentu di masa kini, bukan dahulu kala di negeri antahberantah
6) Pusat pengisahan pada umumnya mempergunakan metode orang ketiga atau diaan. Ada juga yang menggunakan orang pertama atau akuan misalnya Kehilangan Mestika dan Di Bawah Lindungan Kaabah.
7) Banyak terdapat digresi, yaitu sisipan yang tidak secara langsung berkaitan dengan cerita, misalnya uraian adat, dongeng-dongeng, syair, pantun, dsb.Digresi tersebut terdapat, misalnya, dalam kutipan-kutipan berikut.
Pantun
Demikian sekalian perempuan itu tertawa tertawa pula, sehingga malu Asri tadi itu terlipur sudah. Apabila karena Asnah pun ikut tertawa jua. Akan tetapi tertawanya itu sebagai bunyi pantun:
Maninjau berpadi masak,
batang kapas bertimbal jalan.
Hati risau dibawa gelak,
bak panas mengandung hujan. (Salah Pilih, 1990: 82-3)
Maka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang mencekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Bertambah-tambah besar hatinya menerima surat, karena telah dua Jumat ia tiada mendapat kabar dari Samsu. Segeralah ia masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar, dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya: Awal bermula berjejak kalam, Pukul sebelas suatu malam, Bulan bercahaya mengedar alam, Bintang bersinar laksana nilam. Langit jernih cuaca terang, Kota bersinar terang benderang, Angin bertiup serang menyerang, Ombak memecah di atas karang. ... (Sitti Nurbaya, 2008: 112)
Dongeng “Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?” tanya Samsu. “Sungguh belum, Sam,” sahut Nurbaya. ... Cerita yang pertama demikian bunyinya: Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari, tatkala ia hendak pergi, ditinggalkanya anaknya di atas suatu tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia kembali ke rumahnya, dilihatnya kucing itu duduk di muka rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah.... (Sitti Nurbaya, hal. 52)
8) Bersifat didaktis. Ciri-ciri didaktis ini merupakan karakteristik utama angkatan Balai Pustaka. Pendapat ini diambil dengan menilik fungsi pendirian Balai Pustaka,
latar belakang penulis-penulis balai pustaka yang sebagian besar adalah guru, digresi yang dipakai untuk melestarikan sastra tradisional seperti pantun, syair, pepatah, peribahasa, dsb. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa angkatan ini benar-benar menganut paham “seni bertendens.” 9) Bercorak romantis sentimental
b. Ciri-ciri ekstra estetik
1) Pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda soal adat lama dan kemodernan 2) Tidak mempermasalahkan nasionalisme dan rasa kebangsaan
Syair
latar belakang penulis-penulis balai pustaka yang sebagian besar adalah guru, digresi yang dipakai untuk melestarikan sastra tradisional seperti pantun, syair, pepatah, peribahasa, dsb. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa angkatan ini benar-benar menganut paham “seni bertendens.” 9) Bercorak romantis sentimental
b. Ciri-ciri ekstra estetik
- Pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda soal adat lama dan kemodernan
- Tidak mempermasalahkan nasionalisme dan rasa kebangsaan
Pengarang-pengarang Balai Pustaka seperti telah disebutkan di muka kebanyakan berasal dari Sumatera hanya sebagian kecil yang bukan berasal dari Sumatera. Dalam tulisan ini akan dibagi 2, yaitu pengarang yang berasal dari Sumatera dan bukan Sumatera.
a. Berasal dari Sumatera
- Abdul Muis
- Adinegoro (Djamaluddin)
- Aman Datuk Madjoindo
- Hamidah
- Hamka
- Marah Rusli
- Merari Siregar
- Moh. Yamin
- Muhammad Kasim
- Sa‟adah Alim
- Nurani
- Nur Sutan Iskandar
- Rustam Effendi
- Selasih
- Suman Hs.
- Tulis Sutan Sati
- H.S.D. Muntu (Sulawesi)
- I Gusti Nyoman Panji Tisna (Bali)
- Marius Ramis Dayoh (Sulawesi)
- L. Wairata (Pulau Seram)
- Paulus Supit (Sulawesi)
- Sutomo Djauhar Arifin (Jawa)