Makalah Positivisme Hukum dan Pendekatan Hukum Lengkap
Jumat, 15 Mei 2020
A. Pendahuluan
Entah sejak kapan Positivisme Hukum dikorelasikan semata-mata dengan teori hukum yang menganggap bahwa hukum yang berlaku di suatu negara adalah hanya terbatas pada hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan tertulis. Soetandyo Wignjosoebroto misalnya beranggapan bahwa kaum positivis muncul di abad ke-18 dan mereka dapat disebut sebagai kaum legis karena kuatnya pendirian mereka untuk menolak berlakunya norma-norma sosial yang materinya belum dibentuk menjadi peraturan perundang-undangan (Wignjosoebroto, 2002,. 64).
Erman Rajagukguk menyatakan bahwa kaum pendukung Positivisme Hukum adalah mereka yang menganggap bahwa hukum hanyalah norma-norma yang ditetapkan oleh negara (Radjagukguk, 1983,. 81).
Pertanyaan utamanya, apakah penggambaran Positivisme Hukum di atas mencerminkan realitas terkini? Bahwa dalam Positivisme Hukum, hukum tak lebih dari produk perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh negara? Bahwa hukum hanyalah apa yang tertulis dalam undang-undang dan oleh karenanya ahli hukum tak lebih dari sekedar pembaca teks undang-undang?
Melalui makalah ini, saya bermaksud untuk menunjukkan bahwa bukan saja pemahaman di atas tidak tepat, namun juga dapat menyesatkan. Positivisme Hukum tidak menawarkan kejumudan. Sebaliknya, sebagaimana akan kita lihat lebih jauh di bawah ini, Positivisme Hukum justru merupakan teori hukum yang radikal, yang tak bersahabat terhadap pemahaman yang menganggap kepatuhan terhadap hukum adalah segalanya (Leiter, 2009,. 165).
Untuk membuktikan pernyataan saya, kita harus terlebih dahulu memahami konsepkonsep dasar Positivisme Hukum beserta konsekuensi logis dari konsep dasar tersebut. Saya juga akan menunjukkan bagaimana suatu teori hukum yang tidak bersifat murni seperti Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum (atau dikenal juga sebagai Pendekatan Hukum dan Ekonomi (Law & Economics)) justru dapat hidup dan berkembang dengan lebih baik dalam kerangka Positivisme Hukum dibandingkan misalnya dengan Hukum Alam.
B. 2 Konsep Dasar Positivisme Hukum
Dalam pendekatan modern,2 Positivisme Hukum merupakan teori hukum yang bersifat deskriptif. Hal ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh H.L.A Hart, bahwa buku utamanya, The Concept of Law, adalah sebuah esai mengenai sosiologi deskriptif (Hart, 1994,. v).
____________
Sifat deskriptif ini penting untuk diperhatikan karena ini berarti Positivisme Hukum pada prinsipnya adalah teori hukum yang mencoba menggambarkan hukum secara aktual, yaitu bagaimana keberadaan hukum dipersepsikan oleh masyarakat dalam praktek kehidupan sehari-hari (Leiter, 2001,. 285).
Apa saja konsep dasar dari Positivisme Hukum? Pertama, Positivisme Hukum mengusung konsep bahwa hukum merupakan fakta sosial dan keberadaannya dapat dilihat semata-mata dari sumbernya tanpa harus mengevaluasi lebih jauh apa isinya (disebut juga sebagai Source Thesis) (Raz, 2001., 211).
Berhubungan erat dengan konsep di atas, konsep dasar kedua dalam Positivisme Hukum adalah: tidak diperlukan adanya hubungan konseptual antara moralitas dengan hukum (Bix, 2005,. 36) Dalam bahasa yang lebih sederhana, keberlakuan suatu hukum tidak memerlukan legitimasi moral. Apa hukum sebagaimana adanya dan apa hukum yang seharusnya adalah pertanyaan yang terpisah (disebut juga sebagai Separability Thesis) (Leiter, 1999,. 1142).
Pengembangan konsep dasar di atas dapat sangat bervariasi di kalangan akademisi, namun sejauh yang saya ketahui, mayoritas pendukung Positivisme Hukum menyepakati 2 konsep dasar tersebut. Saya tidak akan membahas lebih jauh berbagai variasi pemikiran di atas karena untuk keperluan makalah ini, isu lebih penting yang perlu kita perhatikan adalah konsekuensi-konsekuensi logis dari konsep dasar Positivisme Hukum.
1. Hukum Sebagai Fakta Sosial
Apa yang dimaksud dengan hukum sebagai fakta sosial? Positivisme Hukum menjelaskan bahwa hal ini berarti sumber hukum adalah masyarakat itu sendiri dan muncul karena praktik yang ada dalam masyarakat (MacCormick, 2005, 43).
Pertanyaannya, apakah kemudian semua praktik masyarakat otomatis menjadi hukum? Dalam hal ini, konvergensi pola perilaku sehari-hari saja belum cukup untuk menjadikan suatu kebiasaan/standar sebagai hukum.
H.L.A Hart menyatakan bahwa untuk mengindentifikasi keberadaan hukum, kita perlu mengetahui adanya sikap internal dari masyarakat dalam suatu wilayah yang pada prinsipnya mengakui bahwa: (i) suatu pola perilaku merupakan standar yang diterima secara umum, (ii) ada permintaan di kalangan masyarakat untuk menaati standar tersebut, dan (iii) standar tersebut bersifat normatif yang diekspresikan dalam kata-kata semacam: "seharusnya", "wajib", "benar", "salah", dan sebagainya (Hart, 1994,. 57).
Dalam bahasa yang lebih sederhana, sikap internal di atas merupakan bentuk penerimaan keberlakuan hukum secara aktual oleh masyarakat, bahwa masyarakat menganggap bahwa hukum itu seharusnya diikuti dalam menilai keabsahan perilaku mereka, terlepas apakah masyarakat menerima legitimasi moral dari hukum tersebut (Shapiro, 2006-2007, 1157).
Lebih jauh lagi, hal ini berarti bahwa alasan mengapa seseorang mengakui suatu aturan/kebiasaan/pedoman sebagai hukum tidak lah terlalu penting dalam Positivisme Hukum modern. Tidak menjadi masalah apakah seseorang menganggap hukum seharus ditaati karena keberadaan sanksi, atau karena merasa isi dari hukum tersebut sesuai dengan nilai moralnya. Yang lebih utama untuk diketahui, apakah secara aktual, anggota masyarakat tersebut menilai bahwa suatu aturan memang merupakan hukum dan oleh karenanya seharusnya ditaati?
Dalam bahasa Hart, aturan sosial yang mengatur mengenai kriteria legalitas suatu hukum disebut juga sebagai Rules of Recognition, yaitu aturan yang dibentuk oleh fakta sosial terkait bagaimana penegak hukum dalam prakteknya menjalankan hukum (Leiter, 1999,. 1142).
Dalam bahasa Hans Kelsen, fakta sosial ini tercermin dalam Basic Norm atau Norma Dasar, dimana validitas semua norma hukum di suatu wilayah bergantung kepada Norma Dasar yang validitasnya sendiri kita asumsikan telah diterima kebenarannya (Kelsen, 2005,. 195). Kelsen tidak secara eksplisit menyebutkan siapa yang menerima dan mengasumsikan keabsahan Basic Norm, tetapi logikanya, pihak yang menerima tersebut seharusnya adalah manusia. Konsekuensi logisnya, keberadaan Basic Norm harus dikembalikan kepada fakta sosial. Sampai di sini, teori Kelsen dan Hart konsisten dengan tesis utama Positivisme Hukum, walaupun kemudian pengembangan teori mereka menghasilkan beberapa perbedaan fundamental yang tidak akan kita bahas dalam makalah ini.
Contoh sederhana bahwa hukum merupakan fakta sosial: Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa untuk mengetahui berlakunya hukum positif suatu negara, maka perlu merujuk kepada politik hukum dan kesadaran negara yang bersangkutan, dimana politik hukum itu merujuk kepada undang-undang dasar, yang dalam hal ini adalah UUD 1945 yang berlaku setelah adanya Dekrit Presiden Tahun 1959 (Kartohadiprodjo, 1993,. 46-47).
Pernyataan di atas sangat menarik. Secara implisit, Sudiman Kartohadiprodjo mengakui bahwa keberlakuan UUD 1945, yang dianggap olehnya sebagai aturan tertinggi di Indonesia, bersumber dari dekrit seorang presiden yang seharusnya tidak punya kuasa sama sekali untuk menentukan undang-undang dasar mana yang berlaku atau bahkan mengesampingkan undang-undang dasar yang saat itu berlaku, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Satu-satunya alasan mengapa Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi pasca dekrit presiden adalah karena faktanya, secara sosial, masyarakat dan penegak hukum di masa itu menerima penggunaan dekrit presiden sebagai metode yang valid untuk menjadikan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi (baik dari sudut pandang Rules of Recognition atau pun Basic Norm).
Bahkan di luar dekrit presiden, pertanyaan yang sama juga bisa diajukan terhadap keabsahan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Mengapa kita harus menganggap konstitusi sebagai hukum tertinggi? Ketika pertama kali UUD 1945 diterbitkan, apa memang benar penyusunnya bertindak atas nama bangsa Indonesia? Siapa yang pernah memberikan kuasa kepada mereka untuk mewakili bangsa Indonesia?
Atau apakah ini semua adalah karena misalnya menurut Kelsen, konstitusi adalah hukum tertinggi? Pertanyaannya, apa status Kelsen dan kenapa kita harus menganggap bahwa pernyataan Kelsen benar dan harus kita ikuti? Dari contoh-contoh di atas, konsep dasar Positivisme Hukum bahwa hukum adalah fakta sosial yang dikonstruksikan oleh manusia sebenarnya tidak terbantahkan. Tanpa pengakuan dan penerimaan di masyarakat, hukum tidak akan ada. Sistem konstitusi pun tidak akan ada karena semuanya lagi-lagi adalah ciptaan manusia.
2. Pemisahan Antara Isi dengan Keberlakuan Hukum
Walaupun sering disederhanakan menjadi pemisahan hukum dengan moral, istilah yang sebenarnya lebih tepat untuk digunakan adalah pemisahan antara isi dengan keberlakuan hukum, karena kita bisa saja mengganti istilah moral dengan agama, adat istiadat, dan sebagainya. Ini merupakan prinsip utama dari Separability Thesis.
Aliran Positivisme Hukum terbagi 2 dalam menyikapi pemisahan di atas. Positivisme Hukum Inklusif berpendapat bahwa hukum di suatu wilayah dapat saja memuat kriteria keabsahan yang memasukkan isi dari hukum tersebut sebagai kriteria validitas dari hukum yang bersangkutan (Gardner, 2001,. 201). H.L.A Hart sendiri nampaknya menerima konsep ini dalam catatan tambahan atas bukunya yang dipublikasikan setelah ia wafat (Zipursky, 2005,. 220).
Logika dari aliran ini adalah karena hukum sebagai fakta sosial dapat menciptakan aturan sendiri mengenai kapan suatu aturan dapat dianggap sah sebagai hukum, tentunya dimungkinkan juga adanya masyarakat yang memegang aturan bahwa keabsahan suatu hukum akan bergantung pada isinya (Kramer, 2003,. 53).
Sementara Positivisme Hukum Eksklusif berpendapat bahwa kriteria keabsahan terkait isi ini tidak serta merta menyebabkan suatu hukum menjadi sah atau tidak sah karena isinya, melainkan hanya memberikan diskresi kepada otoritas penegak hukum untuk menentukan lebih lanjut apakah hukum tersebut sah atau tidak (Gardner, 2001,. 201). Dengan kata lain, dalam pandangan mereka, Source Thesis tetap berlaku secara penuh karena mengembalikan keabsahan hukum semata-mata kepada sumbernya.
Saya lebih cenderung dengan pendekatan Positivisme Hukum Eksklusif. Pertama, karena hukum tidak akan bisa lepas dari diskresi. Kedua, pendekatan ini konsisten dengan keseluruhan tesis Positivisme Hukum. Ketiga, Positivisme Hukum adalah teori yang berbicara mengenai sifat dari keberadaan hukum. Isi hukum dan bagaimana cara membacanya adalah soal interpretasi. Kita tidak dapat berbicara mengenai isi hukum kalau kita tidak mengetahui apa yang dapat diklasifikasikan sebagai hukum.
Dengan memfokuskan analisis kepada sumber hukum, jauh lebih mudah bagi kita untuk mengidentifikasikan aturan-aturan apa saja yang dapat dianggap sebagai hukum, dibandingkan dengan menganalisis hukum berdasarkan isinya. Fakta sosial merupakan sesuatu yang dapat diobservasi secara ilmiah dan di masa modern ini, kita memiliki sumber daya yang jauh lebih baik untuk melakukan identifikasi terhadap hukum selaku fakta sosial.
Sebaliknya, nilai-nilai moral dan agama bukan lah hal yang mudah untuk diobservasi, apalagi disepakati. Keadilan misalnya, tidak pernah tuntas didefinisikan. Hans Kelsen menganggap keadilan sebagai kondisi ideal yang irasional karena keadilan terkait dengan kepentingan dan selalu ada konflik kepentingan antar manusia (Kelsen, 1973,.115).
Richard Posner beranggapan bahwa moralitas bersifat relatif dalam artian bahwa sekalipun suatu masyarakat dapat memiliki kode moral tertentu, kode tersebut ditentukan oleh perkembangan kehidupan masyarakat tersebut dibandingkan dengan adanya suatu sumber nilai tertentu yang pasti (Posner, 2002,.19).
Saya sependapat dengan Kelsen dan Posner. Diskusi mengenai nilai moral tidak akan ada habisnya dan lebih berpotensi menimbulkan konflik karena secara instrinsik, tidak mudah untuk menemukan titik temu diantara berbagai nilai moral yang berbeda. Ambil contoh misalnya ketika ada perbedaan pendapat antara mereka yang ingin memasukkan nilai-nilai agama tertentu dalam hukum suatu negara dengan mereka yang ingin agar hukum negara bersifat sekuler. Apabila kita serahkan kriteria hukum berdasarkan isinya, bagaimana cara kita mengetahui hukum yang sah berlaku? Contoh lainnya: beberapa ahli hukum ingin memasukkan adat istiadat sebagai hukum karena dianggap mengandung kearifan lokal. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menentukan mana yang arif? Ambil kasus adat Batak yang bersifat patrilineal, dimana anak wanita tidak berhak menerima warisan. Pendukung adat seharusnya mendukung hukum yang mengesahkan aturan tersebut karena sesuai dengan kearifan lokal.
Pendukung hak asasi dan persamaan gender mungkin akan menentang habis-habisan karena aturan itu dianggap tidak adil terhadap wanita. Permasalahannya sama dengan kasus memasukkan unsur agama ke dalam hukum negara. Apabila kita menentukan kriteria keabsahan suatu hukum berdasarkan isinya, kemungkinan besar kita tidak akan bisa menemukan titik temu. Sebaliknya apabila kita memfokuskan pembahasan pada fakta sosial dalam kasus di atas, kita bisa mengindentifikasi tipe-tipe hukum adat, lalu berdebat soal isinya di belakang, mempengaruhi mereka-mereka yang memiliki wewenang untuk menentukan isi hukum adat dan melakukan perubahan terhadap isi hukum tersebut.
C. Konsekuensi-Konsekuensi Logis Konsep Dasar Positivisme Hukum
Setelah membahas 2 konsep dasar Positivisme Hukum, pertanyaan berikutnya adalah: apa konsekuensi logis dari konsep-konsep tersebut dan apa dampaknya bagi kita dalam memahami hukum?
1. Positivisme Hukum Tidak Sama dengan Formalisme Hukum
Pertama, konsep hukum sebagai fakta sosial tidak dapat diterjemahkan menjadi hukum adalah semata-mata apa yang tertulis dalam undang-undang ala formalisme hukum. Ada lompatan logika yang terlalu jauh di sini, suatu kesesatan dalam cara berpikir yang berdampak negatif.
Brian Leiter mendeskripsikan secara tepat bahwa formalisme hukum bukan merupakan teori tentang hukum, melainkan teori tentang ajudikasi, teori tentang bagaimana cara membaca dan mengaplikasikan hukum (Leiter, 1999, 1138-1139). Hal ini penting untuk diperhatikan karena Positivisme Hukum bukan merupakan teori ajudikasi.
Positivisme Hukum melalui Sources Thesis tidak memiliki posisi mengenai metode yang tepat untuk melakukan argumentasi hukum. Positivisme Hukum hanya menyatakan bahwa norma yang tidak memiliki sumber secara sosial bukan lah norma hukum (Leiter, 1999, 1152). Tidak ada ide dalam Positivisme Hukum yang kemudian membatasi bagaimana hakim seharusnya melakukan interpretasi hukum karena lagilagi Positivisme Hukum adalah merupakan teori mengenai konsep hukum dan relasi antara hukum dengan moral (Leiter, 1999, 1152).
Implikasi dari konsep di atas sangat mendalam. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya, Positivisme Hukum tidak membatasi metode yang dapat digunakan oleh ahli hukum dan penegak hukum dalam menjalankan dan menginterpretasikan hukum, atau pun mengutamakan satu metode di atas metode lainnya. Sebagaimana formalisme hukum mungkin bisa jadi berjaya di negara tertentu, pendekatan hukum yang lain pun seharusnya dapat muncul dan berjaya. Isunya hanya tinggal: sejauh mana suatu
pendekatan dapat diterima dan digunakan oleh para ahli hukum?
Kesalahpahaman mengenai Positivisme Hukum mungkin bisa jadi disebabkan karena pemahaman di kalangan ahli hukum bahwa hukum harus lah jelas dan mudah dimengerti. Lon Fuller misalnya menyatakan bahwa kejelasan merupakan salah satu elemen terpenting dalam legalitas (Fuller, 1964,. 68). Sementara dalam pandangan Joseph Raz, hukum harus dapat membimbing perilaku dari para subjeknya, dan untuk itu hukum seharusnya dipedomani oleh aturan umum yang terbuka dan stabil (Raz, 2009,. 213-214).
Saya tidak menentang ide Fuller dan Raz di atas dan sejauh yang saya ketahui, kebanyakan ahli hukum mendukung keberadaan hukum sebagaimana dideskripsikan di atas. Namun pemikiran mereka tidak bersifat deskriptif, melainkan normatif.Pemikiran di atas tidak terkait dengan Positivisme Hukum (Lon Fuller sendiri bukan penganut Positivisme Hukum), melainkan lebih terkait dengan bagaimana hukum seharusnya ada.
Permasalahannya, keinginan untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian ini seringkali diterjemahkan menjadi: hukum adalah semata-mata apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak mengherankan karena bagaimana pun juga, jauh lebih mudah untuk mencari hukum dengan jalan hanya membaca peraturan perundang-undangan dibandingkan dengan menelisik lebih jauh ke dalam praktek di masyarakat.
Pun dalam realitasnya, kebanyakan negara modern (kalau bukan semuanya) menganut sistem hukum yang kurang lebih sama, yaitu mengandalkan peraturan perundangundangan sebagai sumber hukum utama. Bryan Garner dan Antonin Scalia misalnya mengamati bahwa tradisi Common Law yang mengandalkan hakim memang berjaya di abad ke-19 ketika belum banyak peraturan perundang undangan, namun di masa kini dalam sistem demokrasi, peraturan perundang-undangan menjadi sumber hukum utama (Scalia dan Garner, 2012,. 3). Saya tidak akan membahas lebih lanjut posisi
peraturan perundang-undangan dalam tradisi Civil Law karena saya pikir hal tersebut sudah jelas.
Isu yang lebih penting adalah: apakah kemudian realitas di atas dapat diatribusikan kepada Positivisme Hukum? Jawabannya adalah jelas tidak. Positivisme Hukum bersifat deskriptif. Apabila misalnya peraturan perundang-undangan dianggap sebagai sumber utama hukum karena masyarakatnya menerima demikian, maka Positivisme Hukum dengan sederhana akan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah hukum.
Hal tersebut tidak berarti bahwa kemudian semua aturan di luar peraturan perundangundangan otomatis menjadi bukan hukum. Sebaliknya apabila kita konsisten dengan Positivisme Hukum, kita akan mencari tahu lebih jauh aturan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum yang valid di suatu wilayah atau negara.
Ambil contoh lain, keberlakuan putusan hakim sebagai preseden dalam sistem hukum Indonesia. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa putusan hakim bukan preseden, yaitu bukan sumber hukum yang mengikat dalam sistem hukum Indonesia.
Apakah kemudian konsep ini muncul karena Positivisme Hukum? Apakah putusan hakim selamanya tidak akan pernah menjadi hukum? Jawabannya adalah tidak. Putusan hakim bukan preseden karena faktanya, kebanyakan hakim di Indonesia tidak menerima hal tersebut sebagai sumber hukum. Secara sederhana, apabila misalnya secara bertahap makin banyak hakim yang menerima putusan hakim sebagai sumber hukum yang mengikat, dan jumlah mereka menjadi mayoritas, dengan sendirinya
putusan hakim akan menjadi kekuatan hukum yang mengikat. Pertanyaannya tinggal: kapan dan bagaimana hal itu akan terjadi?
Dan kalau pun akhirnya terjadi, apakah kemudian kaum pendukung Positivisme Hukum akan menentang hal tersebut? Seharusnya tidak, karena masalah apakah putusan hakim lebih baik menjadi sumber hukum atau tidak bukan lah urusanPositivisme Hukum.
2. Positivisme Hukum Tidak Dapat Digunakan Untuk Memberikan Justifikasi atas Hukum Represif atau Buruk
Isu pemisahan antara isi dan keberlakuan hukum sering dijadikan alasan untuk mengkritik Positivisme Hukum, yaitu seakan-akan Positivisme Hukum akan membiarkan begitu saja pemberlakuan hukum yang isinya sewenang-wenang dan bertentangan dengan nilai-nilai moral tertentu karena hukum terpisah dari moral.
Dalam logika para pengkritik ini, sekalipun isi hukum tersebut tidak bermoral sama sekali, namun karena menurut Positivisme Hukum hukum tersebut tetap sah berdasarkan sumbernya, maka hukum tersebut tetap wajib dipatuhi dan dilaksanakan isinya tanpa kecuali. Ini merupakan kesalahpahaman yang fatal Konsep Separability Thesis sebenarnya bersumber dari fakta bahwa hukum adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia (fakta sosial). Hukum tidak berasal dari langit, hukum muncul karena tindakan manusia. Tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa hukum yang dibuat oleh manusia otomatis menjadi benar dan pasti adil (Leiter, 2009,. 165-166), atau bahwa hukum otomatis menciptakan kewajiban moral bagi manusia untuk mematuhinya bahkan ketika ia menerima bahwa suatu aturan memang merupakan hukum (Kramer, 2005,. 181).
Lebih lanjut lagi, dalam pandangan Joseph Raz, salah seorang tokoh utama Positivisme Hukum, setiap hukum pasti mengklaim dirinya memiliki otoritas/kewenangan, namun apakah kemudian hal itu berarti klaim hukum tersebut senantiasa memiliki justifikasi moral yang kuat untuk ditaati? Raz menjawab bahwa pada prinsipnya tidak ada kewajiban moral untuk menaati hukum, bahkan jika
seandainya hukum tersebut memiliki isi yang sangat baik (Raz, 2009,.236-237 dan 245-246).
Saya setuju dengan pemikiran Raz di atas. Positivisme Hukum tidak pernah menyatakan bahwa karena suatu aturan memiliki status sebagai hukum yang sah, maka aturan tersebut sudah pasti memiliki legitimasi moral yang mewajibkan kepatuhan absolut. Ingat bahwa Positivisme Hukum adalah teori hukum yang bersifat deskriptif, ia menggambarkan apa yang ada di lapangan, praktik penerimaan di masyarakat, dan praktik penegakan hukum oleh otoritas.
Dengan demikian, konsep pemisahan antara isi dan keberlakuan hukum tidak dapat dijadikan justifikasi untuk membenarkan hukum yang represif sebagaimana dicontohkan oleh Brian Leiter terkait kasus hukum di masa Nazi Jerman (Leiter,2009,. 167).
D. Pendekatan Hukum dan Ekonomi dan Hubungannya dengan Positivisme Hukum
Setelah melakukan pembelaan terhadap Positivisme Hukum, saya ingin membahas sedikit mengenai konsep Pendekatan Hukum dan Ekonomi dan bagaimana pendekatan ini pada prinsipnya dapat berjalan seiring dengan Positivisme Hukum. Pendekatan Hukum dan Ekonomi merupakan aliran ilmu hukum yang memanfaatkan analisis ekonomi dalam menjawab tiga pertanyaan besar mengenai: (i) definisi hukum; (ii) asal-muasal hukum dan cara hukum memperoleh keberlakuannya; serta (iii) kriteria hukum yang dianggap baik (Mercuro dan Medema, 2006,. 5). Pendekatan Hukum dan Ekonomi disusun berdasarkan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan senantiasa berusaha memaksimalkan manfaat (atau utilitas) yang dapat mereka terima dengan mempertimbangkan kelangkaan sumber daya yang mereka miliki (Posner, 2011,. 3).
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan manusia sebagai makhluk rasional adalah bahwa setiap manusia diasumsikan akan memperhitungkan unsur keuntungan dan kerugian dalam setiap tindakannya. Perhitungan untung rugi ini tidak berarti bahwa setiap manusia secara sadar melakukan perhitungan yang mendalam atas setiap tindakannya, melainkan dapat pula diperhitungkan dalam bawah sadarnya (Becker, 1990,. 7). Selain itu, tidak pula berarti setiap manusia diharuskan memiliki informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan (Posner, 2011,. 4). Fokus pendekatan Hukum dan Ekonomi bukan pada tingkat kesadaran manusia dalam mengambil keputusan, melainkan konsekuensi yang akan muncul dari sifat dasar manusia di atas dan bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi hukum (Posner, 2011,. 3).
Dengan demikian, insentif menjadi sangat penting, karena insentif ini lah yang dapat mempengaruhi perilaku manusia yang rasional. Dalam konteks Hukum dan Ekonomi, insentif tersebut dibentuk dan didayagunakan melalui hukum (Butler dan Drahozal, 2006,. 3).
Secara garis besar, terdapat dua macam pendekatan Hukum dan Ekonomi. Pendekatan pertama bersifat normatif dan pembahasannya difokuskan pada kriteria hukum yang baik. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang baik harus memenuhi dua kriteria utama, yaitu: (i) efisien, dan (ii) memberikan manfaat/utilitas yang sebesar-besarnya kepada masyarakat (wealth maximizing) (Miceli, 1997,. 3-4).
Adapun pendekatan kedua bersifat positif, dimana pembahasannya difokuskan pada analisis atas dampak dari suatu hukum terhadap perilaku aktual manusia (Katz, 1998,.3). Dalam hal ini, pengguna Pendekatan Hukum dan Ekonomi akan menggunakan ilmu ekonomi untuk memperkirakan bagaimana ketentuan suatu hukum akan mempengaruhi insentif manusia, serta mengukur efektifitas dan efisiensi dari suatu hukum. Hal ini dapat dilakukan baik secara teoretis maupun melalui riset
empiris.
Dalam prakteknya, Pendekatan Hukum dan Ekonomi normatif dan positif saling berkesinambungan dan memiliki fungsi yang sangat luas, mulai dari mengidentifikasi keberadaan hukum, menyusun isi hukum, serta melakukan interpretasi terhadap hukum (Cooter dan Ulen, 2012,. 3).
Pendekatan Hukum dan Ekonomi mungkin terkesan radikal di kalangan ahli hukum, khususnya yang dogmatis, mengingat pendekatan ini tidak murni hukum (karena melibatkan ilmu ekonomi). Belum lagi, dalam melakukan interpretasi hukum, Pendekatan Hukum dan Ekonomi juga dapat melampaui teks-teks hukum karena implementasi hukum diukur melalui asas efisiensi dan asas manfaat sebagaimana dikemukakan di atas.
Pertanyaannya adalah, dengan sifat dan ciri-ciri di atas, mungkin kah pendekatan Hukum dan Ekonomi berjalan dan diterapkan dalam kerangka Positivisme Hukum? Jawabannya sederhana: sangat mungkin.
Seperti yang telah saya sampaikan, Positivisme Hukum bukan merupakan teori ajudikasi, melainkan teori hukum. Positivisme Hukum tidak mengatur bagaimana penegak hukum atau ahli hukum seharusnya menjalankan atau menginterpretasikan hukum dari sumber-sumbernya. Konsekuensi logisnya, dalam kerangka Positivisme Hukum, tidak ada alasan untuk menolak penggunaan Pendekatan Hukum dan Ekonomi.
Hal ini penting untuk diperhatikan karena seringkali saya melihat tulisan yang mengkorelasikan Positivisme Hukum dengan pendekatan hukum tekstual yang ketat. Cara membaca peraturan perundang-undangan yang benar bukan merupakan bagian dari Positivisme Hukum. Bahwa hukum harus dianalisis hanya dari teksnya atau harus dianalisis dari tujuannya atau harus dari faktor lainya bukan merupakan porsi Positivisme Hukum.
Positivisme Hukum justru sangat berminat untuk mengetahui metode apa yang umumnya dipakai oleh penegak hukum dan ahli hukum dalam praktek di dunia nyata karena kebiasaan tersebut akan membantu dalam menemukan hal-hal apa saja yang dianggap sebagai sumber hukum yang valid. Dengan kata lain, Positivisme Hukum bersifat netral dan membuka kesempatan bagi berbagai pemikiran dan aliran teori hukum untuk tumbuh dan saling bersaing untuk mencapai posisi dominan dalam suatu sistem hukum.
Bayangkan seandainya kriteria keabsahan hukum harus ditentukan berdasarkan isinya seperti misalnya diusung oleh pendekatan Hukum Alam (Natural Law). Menurut John Finnis, salah satu pendukung utama Hukum Alam, dalam tradisi Hukum Alam, hukum seharusnya merefleksikan proposisi-proposisi yang benar terkait kebaikan dasar dari manusia dan nilai-nilai moral dan keadilan, serta menolak konsepsi kebenaran agregasi yang didasarkan pada suara terbanyak semacam utilitarianisme, konsekuensialisme, dan maksimalisasi kesejahteraan (wealth maximizing) (Finnis,
1986,. 492).
Merujuk penjelasan di atas, maka tak sulit untuk menyimpulkan bahwa Pendekatan Hukum dan Ekonomi akan segera tertolak berdasarkan tradisi Hukum Alam, khususnya karena pendekatan ini berhubungan erat dengan kebenaran agregasi. Tidak dapat dipungkiri, begitu kita menentukan keabsahan hukum berdasarkan isinya, maka akan ada pemikiran yang tersingkir semata-mata karena bertentangan dengan pemikiran hukum yang kebenarannya diyakini sebagai penentu keabsahan hukum yang bersangkutan.
Salah satu kekhawatiran saya terkait tradisi Hukum Alam adalah karena sifatnya yang mengklaim kebenaran absolut dari moralitas. Karena hukum yang sah harus sesuai dengan moral yang diasumsikan bernilai absolut, sulit bagi kita untuk berharap banyak bahwa sistem hukum yang mengusung Hukum Alam akan toleran terhadap nilai-nilai lainnya yang mungkin ada di masyarakat.
Sementara ketika kita hanya berbicara dari sudut pandang sumber hukum sebagaimana ditegaskan oleh Positivisme Hukum, akan selalu terbuka ruang untuk berdiskusi dan berdebat mengenai bagaimana isi hukum seharusnya dan bagaimana kita dapat menginterpretasikan ketentuan hukum tersebut.
E. Kesimpulan
Bagi saya, argumen-argumen yang terkandung dalam 2 konsep dasar Positivisme Hukum memiliki posisi yang tak terbantahkan. Positivisme Hukum sebagai teori hukum yang deskriptif telah menggambarkan secara tepat bahwa hukum merupakan fakta sosial yang keberlakuannya tidak bergantung pada isi namun bergantung pada penerimaan manusia.
Selaku fakta sosial, keabsahan dari sumber-sumber hukum sangat ditentukan oleh praktek yang ada di masyarakat dan oleh karenanya membutuhkan penelitian lebih lanjut atas sumber-sumber hukum apa saja yang hidup dalam masyarakat. Namun demikian, dalam prakteknya, kadang kala penerimaan atas suatu sumber hukum sudah sangat mendarah daging dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga orang tidak lagi berusaha untuk mencari tahu mengapa suatu sumber hukum memiliki kekuatan hukum.
Contoh terbaik tentunya adalah konstitusi. Konstitusi yang dianggap sebagai hukum tertinggi di suatu negara memiliki status tersebut karena mayoritas masyarakatnya menerima keberadaan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi bukan karena isi konstitusi pasti benar dan adil.
Contoh lainnya adalah ikatan yang kuat antara masyarakat dengan hukum dalam peraturan perundang-undangan. Begitu kuatnya penerimaan masyarakat terhadap keabsahan peraturan perundang-undangan sehingga seakan-akan tidak ada sumber hukum lain selain peraturan perundang-undangan.
Pada akhirnya, dalam konsepsi Positivisme Hukum, hukum adalah semata-mata ciptaan manusia. Bahwa tanpa manusia, tak akan ada hukum. Dan karena hukum adalah buatan manusia, tak akan pernah ada hukum yang sempurna dan akan selalu ada ruang untuk perbaikan, kritik dan interpretasi atas hukum.
Daftar Pustaka
Becker, Gary. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: The University of Chicago Press, 1990.Bix, Brian H. “Legal Positivism,” dalam The Blackwell Guide to the Philosophy of Law and Legal Theory. Diedit oleh Martin P. Golding dan William A. Edmunson. Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005. Hal. 29-49.
Butler, Henry N. dan Christopher R. Drahozal. Economic Analysis for Lawyers, 2nd ed.. North Carolina: Carolina Academic Press, 2006.
Cooter, Robert dan Thomas Ulen. Law & Economics, 6th ed. New York: AddisonWesley, 2012.
Finnis, John. “The Natural Law Tradition.” Journal of Legal Education 36 (1986): 492-495.
Fuller, Lon L. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press, 1964. Gardner, John. “Legal Positivism: 51 /2 Myths.” The American Journal ofJurisprudence 46 (2001): 199-227.
Hart, H.L.A. The Concept of Law, 2nd ed. New York: Oxford University Press, 1994.
Kartohadiprodjo, Soediman. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Ghalia Indonesia, 1993.
Katz, Avery Wiener. Foundations of the Economic Approach to Law. New York: Foundation Press, 1998.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1973.
____________. The Pure Theory of Law. New Jersey: The Lawbook Exchange Ltd,2005.
Kramer, Matthew H. “On Morality as a Necessary or Sufficient Condition for Legality.” The American Journal of Jurisprudence 48 (2003): 53-81.
____________. “Legal and Moral Obligation,” dalam The Blackwell Guide to the Philosophy of Law and Legal Theory. Diedit oleh Martin P. Golding dan William A. Edmunson. Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2005. Hal. 179-190.
Leiter, Brian. “Positivism, Formalism, Realism.” Columbia Law Review 99 (1999):1138-1164.
____________. “Legal Realism and Legal Positivism Reconsidered.” Ethics 111:2 (2001): 278-301.
____________. “The Radicalism of Legal Positivism.” National Lawyers Guild Review 66 (2009): 165-172.
MacCormick, Neil. H.L.A Hart, 2nd ed.. Stanford: Stanford University Press, 2008.
Mercuro, Nicholas dan Steven G. Medema. Economics and the Law: From Posner to
Post Modernism and Beyond, 2nd ed. New Jersey: Princeton University Press,
2006.
Miceli, Thomas J. Economics of the Law: Torts, Contracts, Property, Litigation. New York: Oxford University Press, 1997.
Posner, Richard. The Problematics of Moral and Legal Theory. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
____________. Economic Analysis of Law, 8th ed. New York: Aspen Publisher, 2011.
Radjagukguk, Erman. Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Raz, Joseph. The Authority of Law. New York: Oxford University Press, 2009.
____________. “Authority, Law and Morality,” dalam Ethics in the Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics. Diedit oleh Jozeph Raz. New York: Oxford University Press, 2011. Hal. 210-237.
Scalia, Antonin dan Bryan A. Garner. Reading Law: The Interpretation of Legal Rules. St. Paul: Thomson/West, 2012.
Shapiro, Scott J. “What is the Internal Point of View?” Fordham Law Review 75 (2006-2007): 1157-1170.
Wignjosoebroto, Soetandyo. “Perkembangan Pemikiran Dalam Sosiologi hukum Sebagai Respons Atas Perkembangan Sosial Politik,” dalam Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Diedit oleh Ifdhal Kasim, et al. Jakarta: ELSAM, 2002. Hal. 59-106.
Zipursky, Benjamin C. “The Model of Social Facts,” dalam Hart's Postcrip: Essays on the Postcrip to the Concept of Law. Diedit oleh Jules Coleman. New York:Oxford University Press, 2002. Hal. 219-270.